Kejujuran yang Menyakiti

913 40 5
                                    

“LAM! Lam! Woi, Asslam!”

Za tersentak dan menoleh cepat ke arah Robi. Pria itu sudah masuk ke dalam rumah dan tengah menatapnya dengan wajah kesal. Ia mengernyit. Siapa Lam?

Setelah seminggu tinggal di rumah orang tua Za, ditambah tiga hari lagi menginap di rumah mamanya Robi, kini mereka pindah ke rumah baru. Rumah Robi. Rumah itu itu sudah lama Robi beli, tetapi jarang ditinggali. Robi hanya menginap sesekali saja saat ia terpaksa harus membawa pekerjaannya ke rumah. Dan sekarang, ia akan menempatinya bersama bocah---eh ralat, maksudnya istri.

“Cepat masuk, tutup pintunya sekalian!”

Za berdecak sebal, tetapi menurut juga. Ia melangkah masuk dan menutup pintu dengan kencang. Sengaja, supaya Robi tahu kalau ia juga bisa kesal.

“Kamu ini tinggal di papan catur, ya?” desis Za mengikuti langkah Robi yang mulai menaiki tangga.

Rumah minimalis yang terdiri dari dua lantai itu memang didominasi oleh warna hitam dan putih. Dindingnya dicat putih, lantainya dikeramik hitam putih, kabinet dapurnya warna hitam dan putih, beberapa furnitur ditutup dengan kain putih. Ah, pokoknya sejauh mata memandang, Za hanya menemukan warna hitam dan putih saja. Tidak ada warna biru, oranye, apalagi pink.

“Gak ada warna lain selain hitam sama putih.”

Robi akhirnya menoleh ketika didengarnya suara Za yang seperti keberatan. “Kenapa? Gak suka?” tanyanya datar.

Za hanya mengangkat bahu. “Suram banget tau.”

“Gampang, nanti tinggal diganti catnya.” Robi berhenti di depan ruangan yang Za yakini adalah kamar tidur. Pria itu mengeluarkan kunci dari saku celananya dan memasukkannya ke lubang kunci.

“Ini kamar kita,” ujar Robi sambil membuka pintu lebar-lebar.

Benar kan, kamar tidur. Eh, tapi ...

“Gak ada kamar lain lagi, ya?” tanya Za sambil melongokkan kepalanya ke dalam. Biar kita tidurnya misah. Aku males banget tidur sama cowok cabul kayak kamu.

Kamar tidur itu lumayan besar. Ada ranjang king size yang menyatu dengan nakas dan meja rias di tengah-tengah ruangan, satu buah lemari pakaian empat pintu, lemari buku berukuran kecil, dan meja belajar yang letaknya persis di samping pintu kamar mandi.

“Ada,” jawab Robi, “kamar mandi, mau?”

Za langsung melengos sambil mengumpat dalam hati. Lalu cepat-cepat ia beristighfar. Celakalah bagi para pengumpat!


***


“Ini udah cukup? Gak ada yang mau dibeli lagi?” Za kembali memastikan sambil memeriksa ulang daftar belanja yang dicatatnya di note ponsel.

Tidak ada bahan makanan untuk malam ini. Perkakas dapur dan peralatan rumah tangga lainnya juga masih belum lengkap. Karena itulah mereka memutuskan untuk belanja lebih dulu dan memesan beberapa perabotan baru.

“Itu aja dulu,” sahut Robi, lalu menatap Za. “Kamu sendiri, apa ada yang mau dibeli?”

Za menggeleng. “Masih ada semua.”

“Ya udah, berangkat sekarang.” Robi beringsut dari duduknya disusul Za di belakang.

Setibanya di supermarket yang tak jauh dari rumah mereka, Za langsung diserbu oleh penggemar yang melihat kedatangannya. Wanita mungil itu senang-senang saja saat penggemarnya meminta foto bersama, berbeda dengan Robi yang mati-matian menahan diri untuk segera menendang mereka sekaligus.

“Kak Robi foto juga dong.”

Robi terkejut saat seorang gadis remaja yang masih mengenakan seragam SMA, tiba-tiba saja berdiri di sampingnya sambil mengangkat ponsel. Kemudian suara pengunjung terdengar tumpang tindih di sekitarnya. Orang-orang mulai sibuk mengambil gambar mereka.

Tiba-tiba seorang pria menyusup dari belakang dan berdiri cukup dekat di samping Za. Robi langsung menarik wanita itu ke sebelahnya, sehingga posisinya kini berada di antara Za dan sang pria.

Za sendiri agak terkejut ketika punggungnya tiba-tiba direngkuh. Kepalanya menempel di lengan Robi yang jauh lebih besar dan tinggi darinya. Ketika ia mendongak untuk melihat ekspresi si empu, pria itu sedang tersenyum dengan pose dua jari yang terlihat kaku. Za pun turut meletakkan dua jarinya di samping wajah dan tersenyum lebar.

Ckreek, ckreek, ckreek!

“Udah dulu, ya. Udah dulu. Kita buru-buru soalnya. Za juga udah capek kan, ya. Lain kali lagi, ya. Makasih.”

IDOLA GAMBUS - Bingkai Rindu AlkahfiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang