Mencoba Ikhlas

917 48 8
                                    

ZA menatap miris pantulan wajahnya di cermin dan menghela napas. Ia menangis semalaman usai mengetahui alasan Robi menciumnya. Ia tidak tahu kapan tepatnya ia tertidur. Ketika terbangun, tahu-tahu jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih. Saat itu ia kesulitan membuka mata. Rasanya terlalu berat dan sepet. Dan saat ia bercermin, kantong matanya tampak membengkak dengan bentuk mengerikan.

Oh ya, saat bangun tadi, Za tidak mendapati Robi di sampingnya. Mungkin pria itu sudah berangkat kerja. Ya sudahlah, Za juga tidak begitu peduli. Ia sedang tidak ingin melihat wajah pria brengsek yang semalam menatapnya dengan enteng, sama sekali tidak merasa bersalah.

Menghela napas sekali lagi, Za berjalan ke pintu dan menarik handuk dari gantungan, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setengah jam kemudian ia turun ke dapur untuk memuaskan dahaganya. Ia mengisi air dari dispenser sambil bersalawat lirih. Begitu gelasnya terisi dan ia berbalik, seorang wanita bertubuh gemuk tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapannya. Za terlompat kaget hingga gelas di tangannya terlepas dari pegangan dan jatuh berkeping-keping di lantai.

“Maaf, Mbak, maaf. Mbok gak bermaksud ngagetin. Ya Allah, Mbak Za gak pa-pa?”

Za mengurut dadanya sambil beristighfar. “Ibu siapa?” tanyanya kemudian.

“Saya Mbok Nah, Mbak.” Wanita berumur empat puluhan itu berjongkok untuk mengumpulkan pecahan gelas dengan hati-hati. Za ikut berjongkok pula.

“Eh, ndak usah, Mbak. Biar Mbok aja,” katanya ketika Za turut membantunya.

“Gak pa-pa, Mbok, biar cepat selesai.”

“Duh, maaf ya, Mbak, Mbok ngagetin Mbak Za.”

“Gak pa-pa, Mbok. Saya juga yang terlalu kaget tadi.” Za tersenyum canggung, lalu bertanya, “Jadi, kenapa Mbok Nah bisa ada di sini?”

“Mbok asisten rumah tangga di sini, Mbak. Tadi maksud Mas Robi mau dikenalin sama Mbak, tapi Mbaknya belum bangun.”

Mulut Za membentuk huruf O. “Tinggal di sini juga?” tanyanya.

“Ndak, Mbak. Mbok datang pagi-pagi. Terus nanti pulangnya pas Mas Robi atau Mbak Za udah ada di rumah.”

“Oh, gitu.”

Mbok Nah manggut-manggut. Kemudian sambil menatap wajah majikannya dengan seksama, ia bertanya dengan hati-hati, “Maaf lancang ya, Mbak.”

Perasaan Za langsung tidak enak ketika Mbok Nah berkata demikian sambil menatapnya dengan sungkan. Ia tidak tahu pasti apa yang akan dikatakan Mbok Nah selanjutnya, tetapi ia mengangguk saja memberi izin.

“Mbak Za kenapa? Kok matanya bengkak gitu?” tanya Mbok Nah hati-hati.

Seketika saja Za dibuat salah tingkah. Ia lupa pada kondisi wajahnya pagi ini. Bingung juga mau menjawab apa. Apakah harus berkata jujur atau mengelak.

Sesaat kemudian ia beranjak bangun dan menjawab, “Iya nih, Mbok. Semalam saya nonton drama Korea. Ceritanya sedih banget sampe bikin nangis. Terus langsung dibawa tidur.” Ia tertawa sumbang, lalu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, “Ngomong-ngomong, Mbok udah masak belum? Saya laper banget,” gumamnya tersipu. Menangis semalaman cukup menguras energi dan kebiasaannya yang memang selalu kelaparan usai menangis dalam waktu yang lama.

Mbok Nah langsung lupa dengan perasaan khawatir yang sempat menderanya. Ia pun menjawab dengan antusias, “Udah, Mbak. Mbak Za mau makan? Biar Mbok siapin sekarang.”

“Eh, gak usah, Mbok,” cegah Za ketika Mbok Nah hendak beranjak. “Saya bisa ambil sendiri kok.” Kemudian ia beranjak mengambil piring dan mengisinya dengan secentong nasi dan lauk pauk yang sudah tersedia di lemari.

IDOLA GAMBUS - Bingkai Rindu AlkahfiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang