Allah Maha Baik

807 43 4
                                    

ZA mengalihkan perhatian dari ponselnya dan mendongak ketika Nurul yang berjalan di sampingnya menyenggol lengannya. Perempuan itu berkata pelan, “Za, udah dijemput tuh.”

Langkah Za serta-merta terhenti, pun temannya yang kini ikut mengalihkan pandangan ke sedan merah yang tadi ditunjuk Nurul dengan dagunya. Za menghela napas dan mendengar temannya berpamitan. Ia pun berderap menuju sedan merah tersebut. Mengintip ke jendela mobil yang tertutup sebelum akhirnya mengetuk kaca.

Robi yang tengah mengamati hasil jepretan kameranya lekas menoleh. Ia membuka pintu di sampingnya dan turun. Mereka berdiri berseberangan.

“Kamu jemput saya?” Za hanya ingin memastikan. Mumpung Van yang mengangkut teman-temannya belum bergerak. Barangkali kehadiran Robi di sana untuk keperluan lain, jadi ia bisa ikut diantar pulang sekalian.

“Enggak. Kebetulan tadi lewat sini dan ban mobilku bocor.”

Za hampir memutar bola matanya mendengar ucapan penuh sarkas itu. Ia segera masuk ke mobil. Menutup pintu dengan kencang. Memasang set belt.

“Kita ke rumah mama,” beritahu Robi usai menutup pintu. “Kangen kamu katanya.”

Za menoleh. Melihat Robi tengah memindahkan kameranya ke kursi belakang dengan hati-hati. “Mama kamu sukanya apa?” tanyanya kemudian.

“Mama kamu, ya?” Robi balas bertanya dengan nada keberatan.

Za segera meralat. “Mama sukanya apa?”

“Martabak keju,” jawab Robi dan menoleh sekilas ke belakang. “Aku udah beli.”

Za mengangguk saja. Kemudian mobil melaju meninggalkan gedung studio.


***


“Zaaa! Ya Allah, Mama kangen banget.”

Za terkikik pelan ketika mama mertuanya berlari-lari ke arahnya dan langsung memeluk dan mencium pipinya kanan-kiri.

“Mama sehat?” tanya Za sambil mencium tangan Mira. Ia sudah tidak canggung lagi memanggil Mira dengan mama.

“Alhamdullilah sehat,” kata Mira sambil menghela Za memasuki rumah, diikuti Robi yang menyusul di belakang dengan membawa tiga kotak martabak.

Robi berlalu hendak membersihkan diri, sementara Mira mengajak Za duduk di ruang tamu. Kemudian ia menyuruh asisten rumahnya untuk menyiapkan minuman dan camilan.

“Robi jahat gak sama kamu?”

Za langsung menoleh menatap mama mertuanya dengan bingung, lalu menggeleng. “Eng-gak, Ma.” katanya setengah berbohong. “Robi selalu baik kok.”

“Syukurlah.” Mira tersenyum lega dan melihat Za turut tersenyum pula. Ia tidak menyadari perubahan air muka Za ketika wanita itu mengangkat alisnya sambil lalu.

“Tau gak, Za,” Mira menepuk ringan paha Za dengan wajah antusias, “dulu itu Robi gak suka banget sama Asslam Gambus.”

“Oh, ya?” Za cukup tertarik. Ia menyerongkan duduknya hingga menghadap penuh kepada sang mertua.

“Robi sesumbar bilang ke mama kalau dia gak bakal menikah sama kamu. Katanya gak sudi nikah sama Za Asslam. Maunya sama perempuan yang seksi kayak Bear Brand.”

Dahi Za berkerut. Bear Brand bukannya merek susu beruang, ya?

“Mama sih langsung berdoa waktu itu supaya jodohnya Robi itu kamu. Supaya hati kamu dijagakan cuma buat Robi. Dan Masyaallah, Za, doa Mama dikabulin. Cepet banget malah.” Mira tersenyum bahagia. Menggamit kedua tangan Za tapa sadar. “Allah baik banget, ya?”

Za tersentak melihat tangan Mira yang melingkupi hampir seluruh jemarinya. Ia tertegun memandangi wajah Mira yang berseri dan ia jadi teringat dengan bunda. Ternyata ada pihak-pihak yang merasakan bahagia atas pernikahannya. Lalu kenapa ia tidak bersyukur?

“Iya, Ma,” Za memaksakan seulas senyum, turut meletakkan tangannya di atas tangan Mira. “Allah memang baik banget.”

Iya benar, Allah memang baik, Maha Baik. Cuma kitanya aja yang kerap kali lupa.


***


“Mama tidur duluan aja. Biar Za bangunin Robi.”

Mira menyentuh lengan Za. Menahan diri dari menguap terlalu lebar demi bisa mengatakan, “Ya udah, Mama masuk, ya.” Kemudian berlalu menuju kamarnya.

Za menoleh melihat Robi yang terlelap di sofa. Pria itu langsung tidur usai membersihkan diri. Menolak dibangunkan saat magrib. Bahkan melewatkan makan malam. Padahal Za sudah susah-susah memasak bareng mama, tapi malah ditinggal tidur.

Melirik jam. Hanya kurang beberapa menit saja menuju pukul sembilan malam. Di luar masih hujan dan sepertinya tidak ada tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat. Tadi mama sempat bertanya jam berapa kira-kira mereka akan pulang. Za menjawab pukul delapan. Tetapi karena hujan tak kunjung reda, juga karena Robi sulit dibangunkan, Za memutuskan menginap saja.

Bergerak menuju sofa, Za bersimpuh di sisi Robi. Membangunkannya dengan menepuk lengannya sedikit keras dan melihat kelopak matanya bergerak.

Selintas Robi mengernyitkan dahi, lalu membuka mata. Menatap Za dengan mata setengah terpejam sebelum melirik jam tangannya. Ia tidak tahu dimana jarum panjang maupun pendek berada karena tatapannya masih belum fokus.

“Kita pulang sekarang?” Robi tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur. Tapi ia mendengar bunyi hujan.

“Tidur di sini aja. Di luar masih hujan.” Za beranjak duduk di pinggiran sofa dan melihat Robi mendudukkan diri.

“Yakin kamu?”

Za mengangguk. 

Robi mengusap wajahnya guna menyadarkan diri. Ia menyadari tidak ada mama di sana. Ia pun bertanya, “Mama mana?”

“Baru aja masuk kamar,” jawab Za langsung.

“Mama tadi masak gak? Aku laper.”

“Mau makan? Biar saya angetin lauknya.”

Sejenak Robi menatap wanita di dekatnya dengan bingung. Ia mencari-cari gurat kemarahan dalam sorot mata Za, tetapi tidak menemukannya di sana. Akhirnya ia menyahut, “Boleh.”

Za lekas berdiri. “Cuci muka sana.” Kemudian berlalu ke dapur disusul Robi.


***


“Kamu yang masak?” Robi menyempatkan menoleh ke Za yang duduk di sampingnya sebelum menyuapkan makanan.

“Aku cuma bantu oseng-oseng. Mama yang bikin bumbunya.”

Za jujur pada mama soal dirinya yang belum bisa masak. Mama dengan senang hati mengajarinya. Mulai dari memotong bagian daging ayam, menyiapkan bumbu sambil menjelaskan nama dan fungsinya, sampai memerhatikan tingkat kematangan. Kurang dari dua jam, ayam kecap dan cah kangkung tersaji di meja makan.

“Gimana? Enak?”

Semula Robi hanya menatap Za datar, tapi ekspresi wajahnya jadi berubah kesal. “Bisa biasa aja gak itu muka?”

Za terkesiap pelan saat Robi tiba-tiba saja membanting sendok ke meja. Sejak tadi Robi sudah tidak tahan melihat wajah Za yang kelewat imut. Belum lagi sampai detik ini wanita itu masih menggigit ujung sendok dengan ekspresi menggemaskan. Hancur sudah pertahanannya.

“Ini lagi, ngapain gigit-gigit sendok kayak gini.” Dengan ketus Robi menarik sendok itu dari mulut Za. “Sok imut.”

Za merengut sambil menekan-nekan giginya dari luar. “Saya bukan sok imut, ya,” balasnya tak kalah ketus. Giginya jadi berdenyut karena Robi menarik sendok itu dengan paksa. “Memang udah imut dari sananya.”

Iya memang. Robi langsung melengos. Istri cantiknya ini mulai kepedean.

“Jadi gimana? Enak gak?” Za bertanya lagi. Kali ini suaranya sedikit ketus.

Sesaat Robi tertegun menatap sepasang mata di hadapannya. Perubahan emosi Za yang tidak menentu membuatnya kebingungan. Padahal sampai sore tadi wanita ini masih marah padanya. Bicara hanya seperlunya saja. Lalu sekarang ia sudah tersenyum riang seolah tidak terjadi apa-apa.

“Lumayan,” sahut Robi pendek. Kembali menyantap makanannya.

Za memajukan tubuhnya sambil melipat tangan. “Kalau dikasih nilai satu sampai sepuluh, saya dapat berapa?”

“Kamu atau mama?”

“Kita berdua.”

“Tiga koma lima.” Robi menjawab asal.

Muka Za langsung masam. Ia menarik tubuhnya dengan lesu. Mengaduk-aduk tehnya dengan lesu. Robi yang melihatnya jadi tersenyum tipis.

“Gak usah ditekuk mukanya. Makin jelek tau.” Tiba-tiba Robi mengusap puncak kepala Za yang tidak berjilbab. “Ini enak kok, beneran.”

Sesaat Za terpaku. Menggigit bibir bawahnya dengan perasaan campur aduk. Duh hati, baik-baik ya di sana.


Berhasil bikin kamu senyum-senyum gak?

Find me on @yoonisri_

IDOLA GAMBUS - Bingkai Rindu AlkahfiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang