Kita tidak pernah tahu apa yang sedang direncanakan semesta dalam kehidupan ini. Kita hanya perlu menerima dan menjalani saja tanpa mengeluh. Begitulah aku melalui kehidupan ini, sekalipun semesta menahan kebahagianku entah di mana. Walaupun dalam bidang pendidikan berjalan sebagaimana diharapkan oleh kebanyakan orang lain, tetapi entah kenapa hal itu tidak bisa membuat hariku sedikit cerah.
Setamat SMA, aku mendapatkan beasiswa di universitas negeri kedokteran Medan. Nilai-nilai akademikku bisa dibilang berada di atas rata-rata. Memasuki tahun ketiga kuliah, tidak jarang pula para dosen memintaku untuk menggantikan dirinya mengajar. Sejak saat itu, aku sudah memiliki penghasilan sendiri. Uang kiriman bunda pun mulai kutabung. Iya, seminggu setelah kepergian Gibran, bunda juga kembali ke Malaysia. Lalu, tinggallah nenek satu-satunya manusia yang ada menemaniku menuju hari esok.
Kata Seren, aku ini seperti zombie. Tubuhnya hidup, tapi jiwanya telah mati. Namun, seperti biasanya aku adalah orang yang tidak pernah memikirkan pendapat orang lain. Seluruh tubuh dan pikiran terfokus buat pendidikan yang sedang aku tempuh. Walaupun, awalnya yang menginginkan diriku untuk menjadi seorang dokter adalah Gibran. Jujur, tidak pernah terlintas sekali pun dalam benakku bila pada akhirnya jurusan kedokteran bisa mengambil alih tujuanku, bahkan sejenak melupakan kesedihanku.
"Jadilah dokter, Mentari. Serasi untukmu," ucapnya sambil meringis, menahan perih dari salep yang kuoleskan di atas lukanya.
"Kenapa harus aku?" tanyaku penasaran.
"Kan sudah kubilang tadi. Kamu sangat serasi untuk menjadi dokter."
"Lalu kalau aku jadi dokter, kamu mau jadi apa?"
"Tentu jadi pasienmulah."
"Yak, aku enggak mau lihat kamu sakit." Nadaku sedikit meninggi. Aku benar-benar marah dan takut kalau Gibran sampai benar-benar sakit.
"Kalau pun aku sakit pasti cepat sembuhya, karena dokternya kamu."
"Ingat ya, aku itu tidak mau melihatmu terluka lagi seperti ini." Ancamku. "Kenapa sih kamu itu hobi banget berantem," ucapku kesal melihat Gibran yang cuman bisa cengar-cengir saja.
"Siapa suruh dia berani mengangguimu."
Iya begitulah Gibran, dia tidak pernah segan memukul siapa pun jika ada yang berani mengangguku. Sayangngnya Egan, siswa baru pindahan dari Padang Sidempuan itu tidak tahu ada aturan lain yang tidak tertulis di sekolah. Aku sempat merasa kasian saat melihat wajahnya babak-belur karena ulah Gibran. Tetapi siapa suruh juga dia main paksa orang untuk menemaninya makan siang.
"Janji sama aku, jangan pernah terluka lagi."
"Iya, janji."
***
Selesai menemui dosen pembimbing, aku bergegas menuju perpustakaan untuk memperbaiki skripsi. Mungkin sekitar seminggu lagi skripsiku sudah bisa diajukan ke meja sidang. Aku hanya perlu memperbaiki sedikit pada bagian kesimpulan saja. Lagi pula hanya perpustakaan tempat yang paling nyaman bagiku.
Aku mengambil beberapa buku dari rak lemari perpustakaan dan menumpuknya di atas meja. Ketenangan yang telah kubangun tiba-tiba harus terusik oleh kehadiran seseorang yang duduk tepat di sampingku. Awalnya, aku terkejut kenapa dia bisa tahu keberadaanku di sini. Tetapi aku tidak mau menanyakannya. Aku pura-pura saja tidak mengenalnya. Toh, aku memang tidak mengenal dia sama sekali.
Dia menuliskan sesuatu di buku notesnya, lalu menggeser buku itu di hadapanku. Kedua alis mataku menungkik tajam. Ini orang maunya apa sih? kenapa dari semalam suka banget muncul di hadapanku?
Melalui bahasa matanya dia memintaku membaca tulisan yang ada di bukunya. Kamu tahu enggak, sekarang aku sedang mengerjakan tugasku dengan baik sebagai penguntit Embun Zahira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peta Kata
Teen FictionAku membutuhkan peta untuk menemukanmu. Aku membutuhkan kata untuk memahamimu.