Rasanya aku ingin langsung memukul kepala Aksa agar kewarasannya dapat kembali pada tempatnya. Enak saja mengklaim orang lain sebagai calon pacarnya. Aku berusaha sekuat mungkin untuk mengendalikan emosi, agar tidak meledak di hadapan anak-anak dan ibu yang berwajah teduh ini. Lagi pula mana mungkin aku bertingkah seperti orang gila. Cukup Aksa saja yang gila, aku tidak boleh ikut-ikutan.
"Tidak kok, Bu. Perkenalkan nama saya Embun, orang yang diseret Aksa untuk datang ke sini," ucapku setenang mungkin, menyanggah perkataan Aksa yang tidak masuk akal itu. Lagi pula itulah kenyataanya. Kalau bukan karena buku puisiku yang berada di tangannya, mana mau aku mengikuti dia seharian ini.
Ibu itu malah tertawa menatapku. Tawa yang bisa membawa kedamaian di hati siapa saja yang melihatnya. Ibu itu mengelus pucuk kepalaku dengan lembut. Dan entah kenapa tiba-tiba hatiku berdesir, seakan-akan sudah lama sekali aku tidak pernah merasakan sentuhan itu. Sentuhan seorang ibu.
"Iya, ibu mengerti. Tapi sesuatu yang kita bantah dengan keras, biasanya akan berputar arah menuju kenyataan," ujar ibu itu lembut sembari tersenyum menggoda diriku. Aksa juga ikutan senyum tidak jelas.
Namun, aku tidak peduli. Saat ini ada hal yang lebih mengambil alih pikiranku. Iya, aku sangat ingin memeluk perempuan yang memiliki sifat keibuan ini.
"Bu, bolehkah Embun memeluk Ibu?" kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Senyuman ibu dan Aksa memudar, berganti oleh wajah terkejut mendengar permintaanku yang mendadak ini.
"Tentu boleh, ke sini biar ibu memeluk Embun," ucapnya sambil merentangkan kedua tangannya di hadapanku.
Aku langsung berlari ke dalam pelukan ibu itu, mendekapnya erat. Kedua mataku terpejam seolah-olah ingin merekam dalam ingatan, bagaimana rasanya dipeluk oleh seorang ibu. Tanpa terasa kristal bening jatuh dari mataku, membasahi bahunya.
Ibu itu melepaskan pelukannya lalu menatapku. "Kapan pun Embun bisa datang ke sini untuk memeluk ibu," ucapnya sambil menghapus air mataku.
"Aku cemburu," celutuk Aksa. Aku dan ibu pun menoleh ke arah Aksa yang masih berdiri di dekat kami.
"Kenapa? Aksa juga mau dipeluk sama ibu?"
"Bukan, Bu. Sebenarnya ibu memakai sihir apa coba? Sampai Embun mau memeluk ibu segitunya. Bahkan, dipertemuan pertama lagi. Nah, aku yang udah dari kemarin ketemu dengannya, jangankan dapat pelukan, dapat senyumannya saja enggak."
"Kamu enggak pantas disenyumi, apa lagi dipeluk," sahutku ketus.
"Lo, lantas apa yang bisa memantaskan aku untuk mendapat semua itu?"
"Enggak ada."
"Sudah, anak-anak udah pada nunggui kamu, Ak. Lekas jumpai mereka di belakang," sela ibu, mengingati kalau ada segerombolan anak-anak yang tadi menyambut kedatangan kami, lalu pergi entah ke mana.
***
Bunga lili putih berbaris menghiasi halaman belakang Rumah Cahaya. Rerumputan liar merambat indah pada tali ayunan yang tergantung di bawah pohon rindang. Tidak jauh dari ayunan, ada sebuah gazebo bambu beratap rumbia. Di sanalah anak-anak pada berkumpul mendengarkan dongeng yang dibawakan oleh Aksa dan seorang pemuda yang tidak kuketahui siapa namanya. Taman ini tepat berada di pinggir sungai, sehingga suara riak aliran air terdengar jelas.
Tadi aku memutuskan untuk membantu Bu Soyem menyiapkan makan malam, daripada mengikuti Aksa bergabung bersama anak-anak, penghuni Rumah Cahaya. Iya, ibu berwajah teduh yang aku peluk itu ternyata bernama Bu Soyem. Kata Bu Soyem, awalnya rumah ini hanyalah rumah biasa saja. Sampai suatu hari ada seorang temannya yang mau pergi merantau ke negeri orang, menitipkan bayinya di sini. Sejak saat itulah, sering ditemukan bayi di depan rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peta Kata
Teen FictionAku membutuhkan peta untuk menemukanmu. Aku membutuhkan kata untuk memahamimu.