19. ^Pemulihan^

698 91 29
                                    



Kemalaman ya ngepost-nya, tapi enggak apa-apalah yang penting update malam ini juga. Bagi yang sudah tidur bisa dibaca besok kok, yang belum tidur bisa dijadikan bacaan penutup buat hari ini.

Oke, kita absen dulu. Kalian dapat nomor urut ke berapa?

Silahkan komen sebanyak-banyaknya dan tuliskan gimana perasaan kalian buat bagian ini. Oya, sekalian kasih tahu momen mana yang menjadi favorite kalian.

^Happy Reading^

*

*

*

*


Sesakit apa pun itu, rasa sakit itu akan berlalu. Entah karena akan menghilang dengan sendirinya atau karena memang sudah waktuya untuk sembuh. Terkadang ada luka yang seharusnya dibiarkan saja menganga agar mengering tertiup angin atau terkena air. Sama seperti sewaktu kita masih kanak-kanak yang terjatuh karena tersandung batu saat berlarian. Kita pasti akan langsung menangis dan mengadu kepada ibu. Palingnya ibu hanya meniup luka itu. Anehnya perihnya perlahan berkurang.

Tapi ingat, luka yang telah pulih bisa sewaktu-waktu kembali kambuh.

Manusia hanya bisa berusaha tanpa tahu bagaimana hasilnya. Gagal atau berhasil. Kalah atau menang. Makanya harapan dan semua rencana untuk bersamamu tidak perlu kutinggikan. Karena kamu adalah sesuatu yang tidak bisa dipastikan.

Gib, mungkin hari ini aku tidak sanggup berhadapan denganmu. Terlalu banyak pertanyaan yang membuat aku takut bila jawabannya membuatku kecewa. Mungkin benar cinta itu membutuhkan kehadiran. Tapi sayangnya perpisahan selalu terjadi di antara kita. Kita selalu berada di tempat yang berbeda meski hati kita bersama.

Gib, menurutku jarak itu sama sekali tidak bisa mendewasakanku. Jarak justru membunuh kepercayaan. Keraguan tak ubahnya bayangan yang selalu mengikuti. Buat apa hati yang sama bila nyatanya kamu tidak ada di sampingku. Seakan-akan semesta sengaja ingin mempertemukan kita tanpa niat menyatukan kita.

Kata kita adalah sebuah angan yang terlalu indah, indah sekali hingga aku takut untuk menggapainya. Kita hanya sekadar menjadi bunga tidur saja, sampai-sampai setiap kali aku berhasil menutup mata, aku enggan untuk membukanya lagi. Nyatanya, kehadiran dan ucapanmu semalam sungguh ilusi semata. Lagi-lagi aku bermimpi indah, Gib.

Kehadiran Seren benar-benar mengembalikan kesadaranku. Pagi-pagi aku sudah sarapan segala ocehannya. Aku sempat pikir jangan-jangan Seren itu suka makan lebah. Makanya suara mirip macam lebah, bising. Aku masih terduduk diam memerhatikan Seren yang sibuk menyibak tirai jendela. Setelah itu, berjalan ke arah meja yang ada di depanku. Seren membuka nasi bungkus yang mungkin di belinya di kafetaria rumah sakit.

"Bukan kah semalam kamu bilang mau pulang? Kenapa malah tidur di sini?" tanya Seren sembari menggeser nasi bungkus itu ke hadapanku.

Iya, semalam aku memang berencana mau pulang ke rumah, sudah tiga hari ini aku terpaksa menginap di rumah sakit. Nenek pasti merasa sendirian. Walaupun cucunya bukan aku saja. Tapi kan cuma aku dan nenek saja yang tinggal serumah.

"Aku ketiduran, Ren," jawabku.

Dan aku memang ketiduran semalam sampai merasakan Gibran ada di sini. Entahlah semalam itu serasa mimpi, tapi kenapa mimpi terasa begitu nyata? Apa sesulit itu membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya bayangan semu? Semuanya serasa abu-abu bagiku. Aku seperti mengambang di atas permukaan lautan yang terombang-ambing di tempat yang itu-itu saja. Sebanyak apa pun aku bergerak, tetap saja aku masih di tempat yang sama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Peta KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang