13. ^Riuh Redam^

615 152 23
                                    


Apa kabarnya semuanya?

Gimana ibadah puasanya? lancar kah?

Senang rasanya aku bisa kembali update lagi dan menyapa Teman Peta Kata  ^_^

Oya, bagi pembaca baru selamat datang dan secara otomatis kalian pun telah menjadi bagian dari Teman Peta Kata.

Semoga kita tetap bisa bersama terus ya ^_^

Sebelum membaca kita absen dulu ya.

Kamu dapat urutan ke berapa?



Detik yang tadinya hanya terisi denyut kegelisahan, tiba-tiba berubah menjadi ruang hampa. Dada ini terlalu sesak hingga membuat udara kesulitan untuk melakukan tugasnya dengan baik. Kebisingan yang terjadi di sekitarku mendadak sunyi. Tidak lagi kudengarkan suara panitia wisuda dan Aksa yang berteriak memanggilku. Langkahku tidak bisa tertahan oleh apa pun. Terus melaju ke depan. Rasa kepedulianku terhadap acara wisuda sudah lenyap. Saat ini pikiranku dipenuhi oleh Gibran.

Hanya Gibran.

Dan

Rasa cemas yang tidak terbendung.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap berdiri menopang tubuhku yang tiba-tiba terasa berat sekali. Dengan kaki dan tangan gemetar, aku menuju pintu lift yang entah kenapa sialnya telah tertutup sebelum aku menggapainya. Aku segera menuju tangga darurat tanpa mau berkompromi dengan kata menunggu sebentar saja. Kecemasan telah mengambil alih seluruh daya logika.

Entah karena terlalu tergesa-gesa atau memang semesta saat ini sengaja ingin menguji batas kesabaranku. Kakiku terkilir dan hampir saja aku terjatuh kalau sedetik saja tangan itu terlambat memegang tanganku. Sudah dipastikan tubuhku bakalan terguling dari atas tangga dan mengalami pendarahan pada kepala akibat terbentur lantai. Si pemilik tangan itu lalu membawaku ke dalam pelukannya. Mengelus pundakku dan itu sedikit membuat lebih tenang.

"Jangan ditahan, Bun. Menangislah, bila kamu ingin menangis," ucap Aksa lembut.

Untuk pertama kalinya aku menangis di depan Aksa. Terakhir kali aku menangis saat orang tuaku bertengkar hebat dan melarikan diri ke lapangan, lalu takdir mempertemukan aku dengan Gibran. Iya, sudah lama sekali aku tidak pernah menangis lagi. Karena sejak hari itu, Gibran selalu membuatku tersenyum dan menempah diriku menjadi orang yang kuat.

Namun kini, aku kembali menangis lagi, bedanya bukanlah Gibran yang menenangkan diriku. Gibran pasti marah bila melihat aku dalam keadaan seperti ini. Rapuh. Apa lagi bila itu karena dirinya. Aku berusaha meredakan tangisku.

"Semuanya akan baik-baik saja, Bun."

Iya, semua akan baik-baik saja seperti yang dikatakan Aksa. Begitu pun dengan keadaan Gibran, dia pasti akan baik-baik saja.

Aksa menuntun langkahku. Tak pernah sekalipun ia melepaskan tanganku. Kaki yang terkilir ini menghambat diriku untuk mempercepat waktu menemui Gibran. Sebenarnya tadi, Aksa sudah menawarkan punggungnya untuk menopang seluruh tubuhku, tapi aku menolaknya. Ini bukan soal ego atau jual mahal. Aku tak mau menyusahkan Aksa. Sudah terlalu banyak aku berutang kebaikan padanya, meskipun dia tidak pernah memperhitungkannya. Aku yakin, Gibran pun menyetujui sikap ini.

Aku sudah mulai bisa mengendalikan perasaanku. Seiring langkah yang tertatih terampal ribuan doa agar hati ini dapat menerima apa pun kenyataannya sekalipun itu yang terburuk. Sekali lagi mungkin semesta gemar memberikan aku ujian agar menjadi manusia yang lebih kuat dari sebelumnya. Saat kaki melangkah keluar dari gedung, terlihat genangan darah segar pada badan aspal. Kakiku terasa melumer seperti jeli. Aksa langsung memegang tubuhku sebelum terjatuh di atas permukaan aspal.

Peta KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang