12. ^Goresan Hujan^

724 168 33
                                    


Cie...cie... dalam seminggu update dua kali.

Kalian  pasti senang kan?

Kalau begitu jangan lupa kasih vote dan revieuwnya ya. Spam juga boleh loh.

Karena satu kata dari kalian itu sangat berarti bagiku dan menjadi semangat buatku untuk terus menulis. Setiap kali aku lelah, entah kenapa lelahnya jadi hilang setiap kali membaca  komentar dari kalian.

*

*

*



Manusia itu harus merasakan sakit dulu baru bisa menghargai kesembuhan. Mau jatuh tapi tak mau patah, mana bisa. Tidak apa-apa hari ini terluka, esok akan pulih dengan sendirinya. Bukankah waktu dapat mengobati dan melupakan?

Iya, karena waktu adalah hal yang paling setia menemani kita untuk bermetamorfosis. Tak pernah ingkar menjanjikan esok adalah hari yang baru. Begitu pun jika sekarang kita sedang menangisi seseorang, maka akan ada seseorang yang lainnya bersedia menghapus air matamu tanpa perlu diminta.

Tujuan manusia diturunkan ke bumi adalah untuk bersyukur. Kehidupan tidak akan disebut kehidupan jika mau senangnya saja, mana seru. Kita juga harus merasakan susahnya juga. Hidup ini kan harus seimbang? Semesta saja tercipta karena adanya keseimbangan.

Biarkan lukamu hari ini membuatmu menjadi orang yang lebih kuat lagi. Ada pepatah yang mengatakan, di dalam kesulitan akan ada kemudahan, tapi ingatlah bahwa di dalam kemudahan akan ada juga kesulitan. Makanya manusia harus siap menghadapi apa pun di depannya.

***

Rintik hujan mulai jatuh saat aku pergi meninggalkan Aksa.

Dia masih terdiam, menerjemahkan kalimat yang barusan kusampaikan kepadanya. Semoga dia mengerti dan memahami maksudku. Aku membiarkan diri berbasah kuyup di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Tidak ada niat sedikit pun untuk sekadar berteduh menunggu hujan reda. Langkah kaki terus berjalan menuju halte. Aku hanya ingin segera pulang, lalu bersembunyi di bawah selimut hangat.

Mungkin saat ini alam raya sedang marah kepadaku. Matahari yang tadinya cantik bersinar tiba-tiba-tiba tertutup awan tebal yang menghitam, lalu menurunkan hujan yang sangat lebat. Aku semakin memeluk tubuhku menahan gigil yang menebus tulang. Bahkan atap halte pun yang menghalangi hujan membasahi kepalaku tak bisa mengusir hawa dingin yang begitu hebat.

Mobil Avanza putih berhenti di hadapanku. Tanpa melihat pun siapa orang yang berada di balik kemudi itu, aku sudah tahu siapa pemilik dari mobil itu. Sang pemiliknya keluar dengan menggunakan payung besar berwarna abu-abu untuk menghampiriku. Dia langsung mengenggam jemariku mengisi tiap celahnya menjadi sempurna. Aku malah menahannya, tak beranjak dari tempatku berdiri.

"Bisa nggak sekali saja keras kepalanya jangan dibawa-bawa. Kamu mau mati kedinginan di sini, Bun?" ucapnya lembut dengan wajah khawatir.

Semesta, bahkan saat aku baru saja menggoreskan luka di hatinya, dia masih sangat peduli denganku.

"Bukan aku saja yang akan mati kedinginan, yang lain juga. Apa kamu nggak mau memberikan tumpangan kepada mereka?"

Dan aku si keras kepala ini tak tahu berterima kasih, malah terus melukainya dengan kalimat tajamku.

Peta KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang