17. ^Rintik Waktu Bagian 2^

615 111 11
                                    

Hai, selamat malam semuanya. Maaf baru bisa hadir sekarang. Semoga bab ini bisa mengobati kekecewaan kalian. Sekali lagi aku minta maaf karena tidak mengupdate semalam.

Jangan lupa vote dulu, sebelum membaca ^_^

Jarum jam sudah berada di angka 12. Aku harus tidur sekarang kalau tidak mau kedapatan mengantuk di hadapan Prof Darwin. Buku milik Gibran kumasukan ke dalam tas ranselku, agar aku bisa membacanya kapan pun saat mempunyai waktu senggang.

"Hai, Gibran aku juga harus tidur sepertimu. Semoga esok pagi kita berdua bisa terbangun bersama-sama."

Sofa di sudut kiri Gibran mendadak berubah fungsi menjadi tempat tidurku. Mungkin aku bakalan sering berada di rumah sakit daripada di rumah, apalagi kalau dapat shift malam. tetapi, aku berpikir positif saja. Bukan kah berarti aku bisa lebih dekat dengan Gibran.

Baru saja aku mau memejamkan mata, suara dering yang cukup nyaring kembali membuatku bangkit dari sofa. Suaranya berasal dari tasku, seingatku aku telah mengembalikan ponsel ini kepada Aksa. Lalu, kenapa sekarang ponsel ini masih ada di sini?

"Bun, kamu harus makan dan tidur secukupnya. Kalau tidak, sekarang juga aku akan langsung terbang ke Medan," ucap Aksa dengan nada khawatir dan mengancam.

"Bukan kah justru sekarang kamu yang membangunkan aku tengah malam seperti ini? Lagi pula memangnya masih ada jadwal penerbangan semalam ini?"

"Aku akan menggunakan jet pribadiku," sahut Aksa tak mau kalah.

"Oya, kalau begitu aku tidak bisa bilang apa-apa lagi."

"Gimana hari pertama koasmu?" tanya Aksa.

"Hmmm, lumayan lancar dan sedikit membuat tanganku pegal."

"Sini biar kupijitin."

"Malas, nanti tanganku bisa tambah pegal."

"Aku ini cukup ahli soal mijit-memijit. Oya, tadi barusan teman Gibran sekaligus pemilik resort pulau cinta menghubungiku."

"Alen!" tebakku.

"Kok kamu bisa tahu?" tanya Aksa penasaran.

"Dia bilang apa?" Aku malah mengajukan tanya kepada Aksa.

"Mungkin besok dia akan terbang ke Medan melihat Gibran, Bun."

"Tapi....." Aksa menggantung ucapannya. Dia seperti ragu untuk menyampaikannya kepadaku.

"Tapi apa Aksa?!" desakku.

Sepanjang malam aku tidak bisa tidur perkataan Aksa terus tergiang di kepalaku. Aku kembali membaca tulisan Gibran. Mungkin saja sosok yang dikatakan Aksa bisa kutemukan di sana.

Selama sebulan Alen menetap di Pulau Selayar. Selama itu juga kerjaannya cuma mengusik kehidupanku. Dia selalu mengikutiku ke mana-mana, bahkan dia ikut menginap di rumah Mbah Nasib. Mbah Nasib hidup sebatang kara di usianya yang cukup renta, anak dan istrinya pergi entah ke mana.

Demi memenuhi kebutuhanku, aku mengerjakan semua perkerjaan dengan upah yang berbeda-beda. Mulai dari guide toer Pulau Selayar, merajut jala, menyewakan alat-alat selam, hingga menjadi nelayan. Apa pun akan aku kerjakan yang penting halal.

Sampai kemudian hari, aku mendapatkan tawaran untuk menjadi anggota TIMSAR oleh Bapak Kepala TIMSAR wilayah Makasar. Perkenalanku dengan beliau terjadi saat kejadian kapal Feri yang tenggelam di daerah perairan Selayar. Aku yang tak jauh dari lokasi itu turut membantu mengevakuasi korban.

Aku bergabung di TIMSAR hanya setahun saja, karena Alen datang mengajakku untuk membuka usaha resort di Pulau Cinta. Aku menerimanya, sebab laut selalu berkaitam denganmu. Aku selalu merasa dekat denganmu setiap berada di laut. Kami pun merintis usaha itu berdua hingga sampai berkembang seperti saat ini. Jujur, selama proses mengembangkan resort aku hanya memikirkan dirimu, Mentari. Jadi, tidak heran jika resort ini memlambangkan dirimu.

Peta KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang