10. ^Tak ke Mana-mana^

639 180 7
                                    

Backsound silahkan diputar di atas.

Oya kita absen dulu ya

Kamu dapat urutan ke berapa? 

^Happy Reading^

*

*

*

Gibran membuang putung rokoknya yang masih panjang. Asap yang tadinya mengepul dari mulutnya menjadi hilang. Dia memang selalu begitu, setiap berada di dekatku, ia akan menjauhkan benda itu dariku. Sebisa mungkin Gibran berusaha agar aku tidak pernah melihat ia berteman dengan yang namanya rokok.

Dia mengusap wajahnya dengan kasar seakan-akan ingin mengenyahkan apa yang sedang di pikirkannya. Sayangnya itu percuma saja, karena masalah itu tetap menyesakan dadanya. Berulang kali juga ia menghembuskan napasnya di hadapanku, hingga aku merasakan aroma napasnya yang menerpa wajahku.

Sungguh, baru kali ini aku melihat wajah Gibran segusar ini. Padahal biasanya, ia selalu bersikap tenang setiap kali menghadapi apa pun di depannya. Gerak tubuhnya pun mulai menampakan kegelisahan yang sama. Entah apa yang sedang dipikirankannya saat ini. Aku benar-benar tidak bisa menerka isi kepalanya.

Kebingungan semakin melanda diriku. Aku tak mungkin pergi meninggalkan Gibran dalam kondisi seperti ini. Perlahan aku memegang tangannya yang terasa seperti es. Ia tersentak, lalu menatapku. Kedua bola mata hitamnya seakan ingin mengatakan sesuatu kepadaku, namun lidahnya enggan berujar. Aku memperhatikan kedua matanya dengan takjim, sinar mata yang selalu bisa menghanyutkan aku dalam euforia yang berbeda.

Sebelum aku menemukan apa yang tersembunyi di matanya, Gibran membawaku ke dalam pelukannya. Kedua tangannya bertengger di kedua sisi pinggangku. Ia menyembunyikan kepalanya di ceruk leherku. Aku mengusap punggungnya yang lebar. Aku diam dan dia tetap tak bersuara. Tanpa mempedulikan banyak orang yang lalu-lalang di bandara, Gibran semakin erat memelukku.

"Gib, kenapa?" tanyaku akhirnya. Aku sudah tidak bisa menahan lagi rasa penasaranku terhadap tingkah Gibran yang aneh ini.

"A-aku..." ucapannya terpotong oleh suara pengumuman yang mengumumakan keberangkatan pesawat yang akan menerbangakanku ke Medan.

Gibran mengurai jarak denganku. Ia memegang kedua pundakku sambil menyunggikan senyuman bahwa dirinya baik-baik saja, walaupun kenyataanya tidak seperti itu. Aku tidak mempercayai senyuman itu. Pasti ada sesuatu hal yang sedang terjadi. Aku tahu saat ini, dia tengah meragu untuk membagikan bebannya denganku.

"Masuklah, pesawatmu sebentar lagi akan take off," ucapnya.

Aku tidak butuh perintahnya, yang kubutuhkan adalah penjelasan tentang perubahan sikapnya. Aku menghela napas denga berat, karena kutahu dia tidak akan bercerita, meskipun aku memaksanya. Akhirnya, satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah mengangguk. Gibran memberikan koperku yang sedari tadi ada padanya.

Dengan langkah yang susah aku berjalan menuju pintu keberangkatan. Namun, pada langkah kelima aku berhenti sebentar. Hatiku berkata, aku tidak boleh meninggalkan Gibran dalam keadaan yang seperti itu. Lalu, kuberlari menuju ke pelukannya. Sudahkah pernah kukatakan? Bahwa tempat yang paling nyaman di dunia ini adalah berada di pelukannya. Aku tak mau pemiliknya justru tidak nyaman.

"Gib, apa pun yang terjadi. Seberat apa pun itu. Ingatlah, kalau kamu nggak pernah sendirian. Kamu tahu apa maknanya dari bersama? Itu artinya kamu nggak boleh sendirian menanggung masalah, merasakan kebahagian dan kesedihan. Kalau kamu tetap keras kepala untuk sendirian, itu namanya curang. Tapi, sebaliknya kamu wajib membagi masalah itu dan mencari solusinya bersama-sama. Hmmm?" ucapku di samping daun telinganya dengan nada lembut dan tegas.

Peta KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang