Hidup itu pilihan, tapi jatuh cinta itu bukan pilihan. Kamu tidak bisa memilih akan jatuh cinta kepada siapa dan kapan. Karena hati selalu mengalir ke mana cinta semestinya bermuara. Mungkin sebagian orang di permukaan bumi ini dapat jatuh cinta pada pandangan pertama. Ada pula orang yang telah bertahun-tahun bersama, baru menyadari kalau ia sudah jatuh cinta. Begitulah cinta.
Aneh.
Absurd.
Dan tidak masuk akal.
Kalau saja bisa memilih, maka Aksa akan memilih untuk tidak pernah jatuh cinta kepada Embun, wanita yang jelas-jelas telah menolaknya. Aksa tahu resiko dari yang namanya jatuh pasti terasa sakit. Ia sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari untuk terluka sebelum mendekati Embun, perempuan yang terkenal sebagai zombie di fakultas kedokteran. Iya, dan akhirnya Aksa membiarkan dirinya mencintai Embun tanpa mengharapkan apa pun, apa lagi sebuah balasan.
Aksa terus melangkah masuk ke dunia Embun, walau sudah diusir berkali-kali. Semakin Embun menyuruh dirinya untuk menjauh, semakin Aksa merasa Embun harus didekati. Dia tidak akan membiarkan Embun sendirian dengan dunianya. Keinginan Aksa hanya satu memastikan bahwa perempuan yang dicintainya itu bisa tersenyum bahagia. Entah itu bersama dirinya atau orang lain yang penting Embunnya bahagia.
Betapa cemasnya Aksa menunggu Embun di depan fakultasnya yang belum menunjukan tanda-tanda bahwa Embun ada. Aksa memutuskan pergi ke rumah Embun, memastikan kalau Embun benar-benar dalam keadaan yang aman. Namun apa yang diperolehnya, Embun juga tidak ada di sana. Walaupun nenek sudah mengatakan, "Palingnya Embun pergi bersama Seren."
Tetap saja itu tidak bisa mengurangi rasa cemas yang dirasakan Aksa.
Bunyi suara klakson mobil, membuat Aksa langsung berjalan membuka pintu rumah. Seperti oasis di tengah padang gurun, Aksa lega melihat Embun berdiri di balik daun pintu itu. Embun dan Seren memasang raut terkejut melihat dirinya ada di rumah Embun selarut ini. Seren yang memahami situasi, segera permisi meninggalkan Embun dan Aksa.
"Jangan buat aku cemas lagi, Bun." Suara Aksa terdengar gemetar di ujung tenggorokannya.
"Makanya jangan cemaskan aku," sahut Embun ketus.
"Aku kan, sudah bilang akan jemput kamu. Kenapa kamu tidak menungguku," ucap Aksa sangat lembut.
"Aku juga sudah bilang, jangan jemput aku, Ak." Nada suara Nada justru meninggi.
"Syukurlah, kamu tidak kenapa-kenapa." Aksa menghela napas lega.
"Sudah?" tanya Embun.
"Apanya yang sudah?" tanya Aksa kebingungan dengan apa yang dimaksud Embun.
"Aku mau tidur, sebaiknya kamu pulanglah."
"Malam ini Ak akan menginap di sini. Mobil Aksa ketabrak saat menuju kemari," sela nenek yang membawa selimut dan bantal. Aksa bangkit untuk mengambil kedua benda itu dari tangan nenek.
"Terima kasih, Nek."
"Kok bisa?" tanyaku kenapa Aksa bisa terlibat kecelakaan.
"Apanya yang bisa?"
"Ketabrak."
"Aku yang salah, tadi terburu-buru."
"Seharusnya kamu tidak usah merumitkan hidupmu, Ak."
"Tidak ada yang rumit, Bun. Kalau kamu mau mencintaiku."
"Ada yang luka?"
"Apa goresan kecil ini bisa disebut luka?" Aksa menyingkirkan poni yang menutupi dahinya dan menunjukan sedikit luka di sana. Saat kecelakaan, kepalanya sempat terbentur stir kemudi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peta Kata
Teen FictionAku membutuhkan peta untuk menemukanmu. Aku membutuhkan kata untuk memahamimu.