18. ^Seberani Senja^

524 98 22
                                    


*

*

*

Akhirnya, setelah seabad terlewati aku bisa melanjutkan cerita ini. Bila masih ada ditemukan typo harap dimaklumi ya. 

Oke, silahkan dinikmati

Oya, kalian dapat vote ke berapa nih?



Debar jantung yang tak bisa dikendalikan ritmenya terus berpacu seiring langkahku menuju ruang rawat Gibran. Perasaan bahagia yang memuncak, kini entah kenapa tak mampu melenyapkan sekeping kecemasan yang merongrong hatiku. Aku sangat takut Gibran tidak bisa menerima kondisinya saat ini. Bagaimana pun akan terasa sulit bagi Gibran untuk memulihkan keadaannya seperti sedia kala, sebelum mengalami kecelakaan.

Namun, semua rasa bahagia dan takut berganti dengan rasa terkejut. Sekali lagi kenyataan menampar diriku untuk tahu diri. Langkahku seketika terhenti di ambang pintu saat kumelihat ada seorang perempuan dengan lancangnya meletakan bibirnya di atas bibir Gibran yang masih tertidur. Kakiku terpaku di tempat. Dadaku terasa sakit dan sesak serasa ada ribuan tangan yang meremasnya. Seluruh tubuhku gemetar. Aku mengepalkan tangan berharap bisa segera beranjak secepatnya sebelum perempuan itu menyadari keberadaanku.

Aku kembali menutup pintu ruang rawat Gibran. Seperti ada yang mengisap seluruh tenagaku, hingga kakiku melemas dan berakhir dengan berjongkok di depan pintu. Aku berharap semua ini mimpi dan hanya sekadar ilusi semata. Tapi lagi-lagi suara yang kudengar itu begitu jelas menampiknya, seakan-akan menegaskan ini kenyataan. Aku tidak sedang bermimpi.

"Sayang, kamu harus bangun. Hmmm?" Nada permohonannya adalah pisau tajam yang semakin membuat rongga dadaku menyempit.

"Seharusnya kamu tunggu aku dulu, baru setelah itu kita sama-sama ke Medan. kenapa kamu sangat keras kepala sekali sih?" kekesalannya semakin membuatku merasa bersalah dan terpojok. Seakan-akan aku adalah tersangka utama yang membuat Gibran terbaring di atas bangkar.

Cukup aku tidak sanggup bila terus berada di sini, mendengarkan semua keluh perempuan itu. Aku tidak mau mencari tahu siapa perempuan itu dan tak pedulli apa tujuan ada di sini, karena Gibran tidak pernah melakukan hal yang dapat menyakitku. Aku memercayainya. Aku segera menuju ruang Prof Darwin, mencari tahu bagaimana perkembangan Gibran.

***

Sungguh, seminggu ini adalah minggu yang paling melelahkan bagiku. Bagaimana tidak? Aku harus membuat laporan kegiatan selama koas di bagian saraf karena ini adalah minggu terakhir di sini sebelum pindah ke bagian lain. Belum lagi, perkataan Prof Darwin yang masih terus mendengung di gendang telingaku, Gibran yang harus menjalani terapi untuk memulihkan kelumpuhan pada kakinya, kalau tidak selamanya Gibran akan tetap duduk di atas kursi roda.

Dan selama seminggu juga sejak Gibran telah sadar, aku belum bertemu dengannya. Bukan karena alasan tidak sempat, tapi karena perempuan yang kulihat itu selalu ada di sisinya dan merawatnya dengan baik. Itu sedikit menghilangkan rasa cemasku. Terkadang aku bingung dengan apa yang kurasakan, ada sedikit rasa kesal atau cemburu. Lalu, sesal seketika muncul seharusnya aku bisa menunda koas dulu agar bisa lebih fokus merawat Gibran.

Akhirnya semua hal yang didesak akan terasa sesak. Aku terlalu percaya diri untuk bisa menjalani koasku, ikut terlibat dalam pembuatan buku puisi Gibran, dan menjaga Gibran. Namun, nyatanya aku membiarkan Gibran bersama wanita itu, membiarkan Gibran terkurung tanya akan eksistensiku, membiarkan Gibran mengerjakan bukunya sendiri. Parahnya, aku berpura-pura bahwa hal itu tidak sama sekali mengangguku.

Peta KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang