4. ^Alien^

1.1K 305 27
                                    

Alien itu makhluk yang tinggal di luar planet bumi. Anehnya banyak spesies langka seperti itu tinggal di sini, yang entah bagaimana makhluk ini berkembang biak, hingga satu per satu muncul ke permukaan. Mungkin mereka ditugaskan semesta untuk menganggu hidupku. Lalu, kini ada satu lagi alien datang ke dalam kehidupanku.

Aksa Mubin.

Begitulah ia memperkenalkan dirinya di hadapan nenekku.

"Pagi, Nek. Namaku Aksa Mubin. Biasanya Embun suka menyingkat namaku menjadi Ak. Nenek boleh memanggilku dengan nama itu juga."

Bila kutahu dia-lah yang berdiri di balik pintu itu, aku tidak akan pernah mau membuka pintu rumahku. Hujan yang belum tunai sejak semalam, sempurna membuatku terpaksa mengizinkan dia masuk ke dalam rumah. Dia tampak mengigil, menahan rasa dingin yang menyerang tubuhnya. Aku meminggir dari depan pintu, mengisyaratkan ia untuk masuk ke dalam. Aksa ikut bergabung sarapan bersama kami. Kebetulan aku dan nenek sedang sarapan saat Aksa menekan bel rumahku.

"Diminum dulu teh manisnya, Ak," ucapku ketus sambil meletakan secangkir teh manis di atas meja makan.

"Terima kasih, Bun." Dia malah membalasku dengan senyuman.

"Selama ini semenjak kuliah tidak pernah ada satu pun teman Embun yang datang ke sini," ujar nenek.

"Wah, sekarang aku jadi tahu bagaimana perasaan Neil Armstrong saat pertama kali mendarat ke bulan," seru Aksa memerhatikan keadaan sekitar rumahku.

"Ada Seren yang sering kemari, Nek. Jangan membuat seakan-akan rumah kita menjadi tempat persinggahan para alien," selaku kesal.

"Seren kan cewek," sahut nenek membantah argumenku.

"Memang apa bedanya mau cewek apa cowok. Keduanya sama-sama berstatus temannya Embun."

Aku mengerutkan kening melihat Aksa menyunggingkan senyuman mendengarkan ucapan spontanitasku itu. Memang apa yang lucu coba? Entah apa yang dipikirkannya, aku pun tidak tahu. Lalu, nenek cuma menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi keras kepalaku.

"Suatu kehormatan untuk menjadi manusia cowok yang berhasil menginjakan kaki di rumah Embun," sela Aksa sembari berdiri membungkukan badannya di hadapan aku dan nenek.

Lalu, dia kembali melanjutkan acara sarapannya. Dia terlihat menyantap sarapan dengan lahapnya seperti orang yang tidak makan tiga hari saja. Aksa adalah anak orang kaya, jadi mana mungkin dia tidak makan selama itu. Apalagi menu yang tersaji adalah menu yang paling sederhana. Hanya tempe goreng, kangkung tumis dan sambal, sudah cuma itu saja.

"Pelan-pelan makannya, enggak ada yang merebut makananmu, Ak." Nasihat nenek.

"Ini sungguh sangat lezat, Nek. Lihat, bahkan saking lezatnya airmataku sampai menetes. Aku sudah lama sekali tidak makan masakan rumahan seperti ini," sahut Aksa.

"Ini yang masak Embun, Ak. Jadi kalau kamu kepingin makan ini lagi bisa suruh Embun masakin tuh," ucap nenek menjelaskan sesuatu yang sama sekali tidak penting untuk dijelaskan.

"Ada apa kamu datang kemari pagi-pagi?" tanyaku ketus.

Dia tersedak mendengar pertanyaanku. Nenek yang melihat itu segera memberikan minuman kepadanya dan mendelik tajam padaku.

"Kan nenek udah bilang makannya pelan-pelan saja. Apa pertanyaan Embun yang membuatmu tersedak gitu?"

"Enggak kok, Nek. Ada pun tujuan Aksa kemari adalah untuk menjemput cucu nenek yang mau pergi ke kampus."

"Lo? Kok menjawabnya sama nenek. Kan aku yang bertanya."

"Sama saja, Embun."

"Jelas beda, Ak. Tapi kamu enggak usah repot-repot datang ke sini. Kalau hanya ingin menjemputku, ada angkot yang selalu bisa membawa aku ke mana-mana."

Peta KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang