7. ^Jalan Pulang^

769 237 60
                                    


Bacanya sambil mutar lagu ini ya. Soalnya feelnya terasa banget.

Tadinya aku bingung mau kasih soundtrack apa untuk bab ini. Tapi, tadi barusan ada seorang kakak yang bilang kalau judul bab ini sama seperti judul lagu kesukaannya.  Nah, pas aku dengarin kok cocok banget buat Embun, Aksa dan Gibran. Ya, sudah aku langsung rekomendasikan buat kalian juga. Semoga suka ^_^


Gibran pergi tanpa meninggalkan kepastian. Tanpa menjanjikan apa pun. Tanpa menanyakan apa aku sudah siap untuk ditinggalkan. Hanya satu hal yang bisa kulakukan selama empat tahun tanpa dirinya adalah bertahan. Bertahan pada tempat yang sama. Menunggu sesuatu yang entah kapan datangnya.

Tidak pernah sekali pun aku benar-benar menikmati waktu selain bertahan. Setelah dia pergi dari ceritaku, aku tidak pernah bisa merasa baik-baik saja, sekali pun aku sedang tertawa. Puisi-puisi miliknyalah yang menemaniku mengikuti laju waktu. Banyak cerita rindu dan tanya sering muncul tanpa jawaban. Anehnya, aku tidak pernah menangis maupun tertawa. Seolah-olah semua rasa menjadi mati. Hambar.

Duniaku hanya ada nenek dan Seren. Selebihnya adalah makhluk-makhluk yang berlalu-lalang. Aku yang memang tidak tertarik menyapa semesta dan orang lain tidak pernah pusing bagaimana mereka berpendapat tentang diriku. Mungkin ada yang menilai aku ini sombong, padahal aku terlalu malas memulai percakapan yang ujungnya cuma basa-basi. Mungkin juga ada yang bilang aku ini si ratu egois, nyatanya semesta lebih egois lagi padaku.

Sekarang tiba-tiba saja semesta sedang melucu atau aku yang sedang membuat lelucon. Tidak ada angin, tidak ada hujan dalam sekejap jantung ini kembali berdebar karena ulah Gibran. Untuk pertama kali, hari sungguh terasa indah. Semesta berubah menjadi ramah hingga membuat amarah jadi reda.

Saat ini, aku berada di ruang chek in Bandara Kualanamu, menunggu pesawat yang akan menerbangkan aku ke Gorontalo. Gibran memanggilku, maka aku harus datang. Iya, selain puisi dan lipstik, Gibran juga menyisipkan sepotong tiket pesawat bertujuan Gorontalo. Awalnya, aku ragu untuk pergi meninggalkan nenek sendirian. Tapi, Seren mengatakan dia akan menemani nenek selama aku pergi. Kebetulan mama dan adiknya berkunjung ke Manado ke tempat papanya bertugas.

Aku berangkat setelah menunaikan janji menemani Aksa ke toko bunga. Bagaimana pun aku sudah berjanji kepadanya dan lagi pula masih ada waktu.

"Seharusnya kamu seperti ini setiap harinya. Sayang, aku-nya tidak pandai buat puisi," ucap Aksa.

Pasti ini ulah nenek dan Seren yang cerita sama Aksa soal kiriman paket dari Gibran. Malam itu aku lepas kendali karena terlalu bahagia, tanpa sadar aku langsung menelepon Seren dan tidak berhenti mengoceh kepada nenek.

"Kamu beda hari ini. Tidak seperti Embun biasanya," ucap Aksa lagi.

"Ka..kamunya saja yang merasa begitu. A..aku tidak," sahutku gugup.

Lihatlah, kenapa aku merasa seperti orang yang sedang berselingkuh. Padahal kami sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun. Aku serasa seperti seorang perempuan yang sedang menyembunyikan rahasia dari kekasihnya. Namun, sebenarnya aku tidak mempunyai kewajiban juga untuk memberitahunya. Malah aneh jadinya, jika aku menjelaskannya, itu justru semakin membuat kami terlihat seperti sepasang kekasih.

"Aku menunggumu, Bun. Pulanglah sesegera mungkin," ujar Aksa.

"Jangan menungguku. Pulang, Ak."

"Bagaimana aku bisa pulang, bila jalan pulangku adalah kamu, Bun," sahut Aksa.

Lamunanku pecah oleh suara dering hapeku yang menampilkan pesan dari Aksa.

Kabari kalau sudah landing ya.

Peta KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang