8. ^Jalan Pulang Bagian 2^

801 235 24
                                    

*

*

*


Sebaiknya dibaca sambil diiringi lagu di atas ya.

Happy Reading ^_^

*

*

*

Tujuan dari perpisahan adalah pertemuan. Tujuan dari kepergian adalah kepulangan. Tujuan dari mencari adalah menemukan. Begitulah yang diyakini Gibran saat ia meninggalkan Mentari yang kita kenal sebagai Embun di Medan. Karena tujuan hidupnya adalah Mentari. Dia adalah seorang pemuda biasa saja yang harus berjuang keras untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginannya. Pemuda yang sering naik-turun angkot ke mana-mana atau naik sepeda ontel milik suami bibinya.

Dia bukanlah seorang pangeran seperti cerita Cinderella yang bisa membawa perempuannya dengan kuda putih. Atau menempatkan perempuannya dalam istana yang mewah. Sekali lagi Gibran hanya seorang lelaki biasa-biasa saja yang harus bekerja keras dan banting tulang untuk mencapai apa pun keinginannya. Bahkan, Gibran pernah bekerja di door smeer milik Pak Dahlan, sepulang sekolah demi bisa membelikan Mentari sebuah dompet atau mengajak Mentari pergi entah ke mana.

Gibran tahu bahwa dirinya dan Mentari memiliki banyak kesamaan. Luka yang sama. Kekecewaan yang sama terhadap semesta. Namun sejak ia bertemu dengan Mentari, ia jadi tahu bahwa semesta selalu memberikan keseimbangan di dalam kehidupannya ini. Gibran yang tadinya sangat apatis dengan hidupnya berubah menjadi peduli terhadap masa depannya.

Sudah dipastikan, ia tidak akan bisa melanjutkan pendidikannya karena ia seorang anak yatim piatu yang diasuh oleh bibinya. Beruntungnya ia memiliki bibi baik hati yang selama ini telah menanggung biaya hidupnya. Jadi, cukup sudah dirinya menjadi beban keluarga bibinya. Gibran sudah bertekad, setamat SMA dirinya harus hidup mandiri. Dan satu-satunya cara untuk mewujudkan hal itu adalah ia harus merantau ke kota lain.

Tetapi untuk petualangan kali ini, Gibran benar-benar tidak bisa melibatkan Mentari dalam perjalanannya. Sungguh berpisah dengan Mentari merupakan hal sulit baginya, tapi dia tidak ingin Mentari melihat dirinya babak-belur. Cukup hanya dirinya saja yang tahu bagaimana usaha-usaha yang dilakukannya untuk kembali ke sisi Menatari. Dia ingin tampil sebagai pemuda yang layak bersanding dengan Mentari. Maka, dengan terpaksa ia harus menghadiakan dirinya dan Mentari dengan sebuah jarak.

Lagi pula Gibran tidak mau menghancurkan masa depan perempuannya. Biarkan Mentari tetap di Medan melanjutkan pendidikannya. Bahkan, demi mendukung Mentari, ia juga ikut ujian masuk penguruan tinggi. Iya, keduanya memang dinyatakan lulus. Tetapi, Gibran tidak pernah memasukan kuliah sebagai rencana hidupnya. Sebelum kepergiannya, ia sudah memastikan Mentari akan kuliah.

Tapi, lihatlah kini ia justru membuat perempuannya menangis dan memohon kepadanya. Terkutuklah dirinya yang telah membuat airmata yang berharga itu jatuh. Rencana yang telah disusunnya dengan matang berakhir dengan sia-sia. Gibran membawa Mentari ke dalam pelukannya sambil mengusap punggungnya, berharap bisa menenangkan isak tangisnya.

***

Langit telah menghitam. Suara angin membuat suara ombak berderu hingga membuat kesadaranku mulai kembali. Perlahan terbangun menyibak selimut, menatap interior kamar yang didominasi kayu. Sebelah kiri kasur ada sebuah gaun panjang berwarna putih yang tergantung di dinding. Kain gaun itu terlihat cukup tebal."Kalau sudah bangun segera keluar menggunakan gaun ini."

Peta KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang