16. ^Rintik Waktu^

457 118 5
                                    

Hai, selamat malam. Maaf ya, agak ngaret. Bab kali ini terpaksa kubuat dua bagian. Jadi, maklumi aja kalau ini pendek.

Sebelum mulai membaca, silahkan vote dan tinggalkan komen sebanyak-banyaknya. Kalau mau spam sangat diperbolehkan. 

^Happy Reading^

^Semoga kalian suka^

*

*

*

Ujung penaku tumpah meruah dengan rindu yang beriuh.

Lidahku kaku dan keluh

Kata-kata seketika luruh

Hingga struktur kalimat yang telah tersusun runtuh

Kau hadir seperti ombak yang tak pernah surut

Menggulung dan menghempas dengan seluruh

Sejauh apa pun aku berlayar

Tetap saja rindu tak terbayar

Engkau tertinggal tapi tak tanggal dari ingatan

Akh, rasanya kuingin berlari memelukmu

Menghentikan semua jalur yang kutempuh

Tapi kusadari ini adalah rangkaian jalur menujumu

Akh, puisi Gibran memang selalu ampuh menenggelamkanku dalam setiap kata-katanya. Dia membuatku terhanyut dan terenyuh.

"Hei, tuan penyair berhenti menyihirku seperti itu," ucapku tersipu malu. Mungkin ronah merah sudah tertera di wajahku. "Memangnya aku tidak rindu, aku juga. Sampai-sampai orang-orang mengatakan aku ini zombie."

Dua manusia yang memutuskan berjarak dengan waktu dan ruang benar-benar membuat masing-masing pihak tidak dapat saling mengetahui apa yang sebenarnya yang dialami. Kecurigan dan prasangka adalah rasa yang bisa mengikis kepercayaan itu hingga menipis. Sayangnya, aku sempat berpikir buruk kalau Gibran memang sengaja menghindariku dengan kepergiaannya.

Menunggunya hanya bermuara pada lelah yang sempat membuatku mengaku kalah dan menyerah. Rasanya hanya aku yang memperjuangkan hubungan ini, dia tidak. Hanya aku yang menginginkan dia, dia tidak menginginkan diriku. Akhirnya aku berhenti mengharapkan kepulangan dan kabar darinya, karena harapan itu sesuatu hal yang tidak bisa kita prediksikan. Jadi, aku mempersiapkan diriku atas ketidakpulangannya.

Aku mengalihkan semua pikiranku ke tujuan lain, menjadi dokter. Memfokuskan diri seutuhnya untuk segera menyelesaikan kuliah. Aku sama sekali tidak mengikuti UKM apa pun di kampus. Memilih menyendiri di tengah keramaian. Mengacuhkan semua pendapat orang lain tentang bagaimana aku menjalankan hidupku. Bila kita hidup hanya untuk memikirkan perkataan orang lain. Untuk apa? Percayalah karena itu tidak pernah ada ujungnya, tidak pernah ada habisnya. Buat apa hidup untuk membuat orang lain bahagia, sedangkan orang lain tidak tahu bagaimana sebenarnya kita menjalani kehidupan ini.

Mengingat sikap seperti itu semakin membuat dadaku sesak oleh perasaan bersalah. Kenyataan benar-benar telah menaparku dengan sangat keras. Gibran juga sedang memperjuangkan aku. Aku membalik lembar selanjutnya.

Mentari, kamu tahu kenapa Pulau Selayar ini kupilih sebagai tempat tujuanku yang pertama? Itu karena kamu menyukai laut. Aku ingin selalu dekat dengan hal-hal yang berkaitan denganmu. Oya, kamu masih sering kan pergi ke laut?

Aku menggeleng kepalaku dengan keras menganggap Gibran bisa melihat jawabanku. Aku memang tidak pernah pergi ke laut lagi sejak hari sebelum kelulusan SMA. Aku tak mau terlihat menyedihkan dengan duduk sendirian di bibir laut atau menangis dan berteriak marah di hadapan laut nan luas.

Mentari, aku mendapatkan tawaran untuk menjadi anak kapal. Tapi, aku menolaknya. Karena nanti aku bakalan sering meninggalkanmu sendirian dalam waktu yang lama. Heh... gimana sih? Bukan kah sekarang aku juga sedang meninggalkanmu. Maaf, kalau kamu menganggap aku bertindak egois.

"Kamu memang orang yang paling egois, Gib. Tapi aku tidak bisa marah sama kamu."

Lalu, aku bertemu dengan Alen seorang pemuda yang sengaja menenggelamkan dirinya di laut karena patah hati. Tentunya, melihat itu, aku tidak bisa diam saja. Aku segera berlari menggapai tubuhnya yang mulai menjauh dari tepi. Sekuat tenaga aku melajukan gerakku di dalam laut melawan ombak yang tampak sengaja menyuruhku untuk kembali ke bibir pantai.

Akhirnya, aku bisa membawa dirinya ke pinggir laut. Bukannya berterima kasih, dia malah memarahiku.

"Untuk apa kamu menolongku? Aku tidak pernah meminta pertolongan orang lain." Dia berucap dengan nada tinggi. Wajahnya yang sudah makin memerah karena luapan emosinya.

"Aku tidak bisa membiarkan manusia melakukan tindakan yang paling bodoh." Bentakku tak kalah dari suaranya yang meninggi itu.

"Bukan urusanmu, nggak usah ikut campur. PINGGIR!" ucapnya dingin dan tajam. Lalu, dia mendorongku untuk kembali berjalan ke arah laut.

Begitulah awal pertemuanku dengan dirinya. Anehnya, sekarang dia justru menjadi teman karibku.

"Patah hati tidak boleh mematahkan duniamu." Alen mendengus sebal menatap diriku yang duduk di depannya sambil meminum kopi.

"Coba sekali-kali kamu rasain patah hati itu. Biar kamu tahu bagaimana rasanya."

"Bukannya menyombongkan. Sayangnya, dari sejak dilahirkan hingga kini aku patah hati tidak mau mendekatiku. Dan perempuan tidak akan pernah membuat hatiku patah."

"Bagaimana kamu bisa yakin? Bisa saja kan, di sana dia sedang jalan sama cowok lain dan bersenang-senang. Sedangkan kamu di sini sibuk menemani pria yang seperti aku ini."

"Aku yakin, seyakin-yakinnya."

"Kita lihat saja nanti. Waktu di mana kamu akan menangis karena telah dicampakan oleh orang yang kamu percayai dan sayangi."

"Kamu sedang mendoakan aku?"

"Tidak, hanya mengingatkan saja."

Mentari, aku yakin kamu adalah orang yang tidak akan mampu mematahkan hatiku, begitu pun sebaliknya. jika suatu hari nanti entah kamu atau aku yang mengalami patah hati. Kita tidak boleh seperti Alen itu ya.

" Iya, Gibran. Kita tidak boleh seperti itu."

*

*

*

-----bersambung-----

Untuk  bagian keduanya, bakalan aku update malam Jum'at. Oke.

Peta KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang