Part 1 - Mengenal Jonathan

1.7K 83 1
                                    


Aku Kinanthi Rinai Setiawan, atau biasa dipanggil Kinanthi, atau yah cukup panggil Kinan saja, sudah hampir dua tahun ini menjabat sebagai editor di majalah Living. Yang artinya, seharusnya aku sudah tidak perlu semalas dan se-mager ini hanya demi bangun pagi dan segera berangkat ke kantor.

"Nan, nanti sore jangan lupa pulang agak cepet, Ibu udah terlanjur janjian sama Tante Mutia, nggak enak."

Baru saja aku mengambil duduk di salah satu kursi meja makan, Ibu dengan 1001 titahnya, sepertinya sudah siap lebih dulu.

Aku mencomot sebuah roti bakar selai kacang, dan hanya membentuk sikap hormat sebagai jawaban.

"Jangan iya-iya aja, kamu sekarang iya, lima menit lagi juga udah lupa. Kalau perlu bikin alarm."

Aku merengut.

"Nggak percaya banget sama anak sendiri, heran, deh. Nanti aku bisa balik sore, kok. Nggak banyak kerjaan kaya'nya hari ini, Bu."

"Ibu tetep nggak percaya. Lagian, secepet-cepetnya kamu pulang kerja, memangnya pernah bisa sampai rumah sebelum Maghrib?"

Kali ini aku mengangguk cepat, sebelum Ibu memperbanyak titahnya lagi.

"Yan nanti jam lima aku izin, deh. Biar Ibu nggak sungkan sama Tante Mutia."
Sengaja kutekankan di bagian 'biar nggak sungkan' tadi.

"Bukannya Ibu maksa, Nan. Tapi paham sendiri tantemu itu cerewetnya gimana kalau sampai kita telat fitting baju nanti? Desainer-nya aja khusus didatangkan dari Surabaya katanya."

Aku masih mengunyah rotiku tanpa benar-benar mengiyakan kalimat ibuku tadi.

"Perasaan anaknya yang nikah, kok kita yang dibikin repot, ya, Bu?"

Ibu cuma mengedikkan bahunya sebagai jawaban.

-----

"Fre, ini yakin si Galang udah bikin riset buat artikelnya ini?" Aku cuma menunjukkan sebuah artikel di komputerku, kepada Freya yang masih setia berdiri disamping kubikel-ku.

"Emangnya kenapa, Mbak?"

Aku mendecakkan lidahku. Agak heran dengan kelakuan salah satu wartawanku itu, rasanya kalau sehari saja tidak membuatku emosi, hidupnya terasa kurang.

"Balikin ke Galang, bilang, kalau nggak riset dulu mending nggak ada artikel di kolom dia."

Aku menyerahkan harddisk kepada Freya yang langsung mengangguk dan memilih mengiyakan perintahku tanpa banyak bicara.

"Kopi dulu, biar nggak emosi."

Kali ini aku menoleh ke kubikel sebelahku, ada Reno dengan segelas kopinya yang diacungkan kearahku.

"Raos? Tempat baru?"

Aku membaca tulisan yang tertera di gelas plastik yang diacungkan Reno didepanku tadi.

"Yap. Blok 34 buka coffee shop baru, kecil tapi cakep."

Aku dan Reno memang sama-sama penikmat kopi. Penikmat, alias cuma paham bahwa kopi itu enak.
Selebihnya, ya kami cuma jadi pengunjung tetap dari satu kafe ke kafe lain. Wajar kalau ia langsung semangat merekomendasikan kafe temuannya, yang kebetulan cukup dekat dari blok tempat kantorku berada.

-------

Aku mengamati bangunan tempat kopi Raos yang tadi disebutkan oleh Reno.
Tidak banyak kursi yang disediakan, mungkin hanya lima atau enam meja dengan masing-masing dua kursi tanpa sandaran.

Bar-nya lebih mirip pantry dengan banyak tanaman, dan lampu-lampu hias berwarna kuning, dengan sebuah neon box kecil bertuliskan nama tempatnya, lengkap dengan ukiran Jawa di sekelilingnya.

Aku memutuskan mengambil duduk tepat didepan bar, menghadap kearah pintu masuknya yang juga terbuat dari bambu-bambu yang dicat cokelat dan putih.

"Pesan apa, Mbak?"

Aku masih menunduk sambil memainkan ponselku, sampai kemudian telingaku mendapati suara seseorang dari arah depanku.

"Caramel-nya satu, Mas."

Aku sempat membaca daftar menunya yang dipasang tepat di dalam kaca meja yang kutempati, dan langsung menyebutkannya dengan cepat.

"Nggak mau coba es kopi susu pandan?"

Aku kembali mendongak.
Barista laki-laki didepanku ini justru menyuguhiku dengan senyum lebar, yang sialnya, sangat manis itu.

"Pasti belum pernah, kan? Cuma saran aja, itu salah satu kopi terbaik disini."

Aku mendadak ikut tersenyum meskipun canggung, namun tak urung mengangguk juga.
"Boleh, deh. Es-nya banyakin dikit, ya, Mas."

Lalu barista yang punya senyum cukup manis tadi mendadak justru mengulurkan tangannya kearahku, membuatku justru kelabakan mendapatkan satu perlakuan yang menurutku hampir jarang, atau bahkan belum pernah terjadi ini.

"Jonathan."

Sekali lagi senyumnya menular.

"Kinanthi."

SementaraWhere stories live. Discover now