Part 36 - Keputusan

225 35 4
                                    

Hampir seminggu sejak kejadian Jonathan mengajak balikan di Malang itu dan jujur sama sekali tidak ada hal yang bisa kulakukan selain kembali bekerja seperti biasa, menghadapi celetukan iseng Reno, atau sesekali kunjungan Jonathan.

Laki-laki itu seolah benar-benar menulikan telinganya dari ucapanku yang menegaskan bahwa aku masih membutuhkan waktu untuk berpikir tentang keputusan apapun yang nantinya akan kuambil. Entah tentang Tristan, entah Jonathan, atau malah, tidak tentang keduanya.

Hubunganku dan Tristan sendiri masih berjalan seperti biasanya meskipun laki-laki itu masih konsisten dengan kesibukannya di Surabaya saat ini.

"Nan, ada yang nyari di bawah."

Ucapan Galang membuatku yang sedang menyelesaikan artikel kiriman Gana kembali mendongakkan kepala.

"Udah dibilangin kalo aku selesai masih sejam lagi, Lang? Jonathan ya?"

Aku memang sudah mulai menghafal kalau pada jam-jam mendekati pulang begini memang hampir selalu sosok mantanku itu yang muncul di lobi kantor.

"Bukan. Si Pak Dokter.."

Sial.

Jadi Tristan?

Kalang kabut aku langsung menutup lembar kerja setelah menyimpannya terlebih dahulu. Apa maksudnya laki-laki itu dengan tiba-tiba muncul begini dengan tanpa penjelasan apapun.

"Hei, sori nunggu. Tadi masih ada artikel. Langsung ke sini?"

Menghempaskan dudukku di bangku depan Tristan, aku bahkan masih bisa melihat sisa-sisa kelelahan dari wajah laki-laki itu. Tas berukuran sedang yang tergeletak di samping kakinya membuatku menebak bahwa ia pasti memutuskan langsung ke sini dari bandara.

"Iya nggak papa, Nan. Tumben jam segini masih belum kelar?"

Tristan mengalihkan pertanyaan basa-basiku dan justru berbalik bertanya.

"Tadi ada tambahan aja, kok. Bukan buat edisi minggu ini juga sebenernya. Mau minum apa?"

Sebenarnya aku paham, dengan pertanyaannya tadi Tristan sudah pasti tidak bermaksud hanya akan mengobrol denganku di kantor seperti ini.

"Dinner aja, yuk, Nan. Bisa kan?"

Jujur aku terkejut dengan ajakan tanpa basa-basi dari Tristan kali ini. Bahkan ia juga tidak repot-repot untuk berbasa-basi dan langsung menanyai kesediaanku. Radar kewaspadaanku mendadak menyala dan memberi isyarat bahwa makan malam kali ini tentu bukan makan malam casual seperti yang pernah kami lakukan sebelum-sebelumnya.

"Lima belas menit lagi gimana? Aku beresin meja sama barangku sebentar."

"Aku tunggu."

Entah bagaimana menjelaskan bagaimana aura kecanggungan yang tadi kurasakan semenjak menyambut Tristan bahkan sampai kami sama-sama duduk berhadapan di bangku restoran iga bakar yang kali ini dipilih oleh laki-laki itu.

"Sampai udah lupa ya, Nan, kapan terakhir makan bareng sama kamu begini.."

Aku tertawa kecil menanggapi komentar singkat Tristan barusan.

"Ya mau gimana, sama-sama sibuk ini. Kerjaanmu gimana? Lancar-lancar, kan?"

Laki-laki itu mengangguk mengiyakan. 

"Saking lancarnya sampai aku nggak ada waktu buat ke Jogja. Pulang ke rumah aja aku jarang banget, Nan. Bisa pulang pun pasti orang rumah udah pada tidur saking malemnya. Kamu sendiri, gimana kerjaan?"

Aku tanpa sadar ikut mengangguk-angguk. "Lancar alhamdulillah. Kebalikan dari kamu, aku sekarang jarang lembur lagi karena ada tambahan beberapa orang di kantor jadi kerjaan makin efektif."

SementaraWhere stories live. Discover now