Part 42

601 53 3
                                    

Menatap tanganku yang masih bertautan dengan sebelah tangan Jonathan ternyata cukup membuat jantungku berdebar sekaligus perasaanku menghangat. 

Mungkin ini yang selalu dikatakan orang-orang tentang "when you know, you just know".

Aku mungkin masih tidak tahu masa depan macam apa yang akan kumiliki dengan laki-laki di sampingku ini. Tetapi melepaskan ia sekali lagi, rasanya sama sekali bukan ide baik. Dan karena aku juga diajarkan oleh ibuku untuk tidak melepaskan hal-hal baik dalam hidup, apapun itu resikonya, maka aku memutuskan secara sadar untuk tidak lagi melepaskan Jonathan.

"Cari makan dulu aja, yuk, Sayang.."

Percaya padaku. Gambaran romantis apapun bisa mendadak buyar kalau Jonathan sudah kumat isengnya seperti ini. Ia paham betul aku risih dengan panggilan itu dan ia justru dengan sengaja mengulang-ngulangnya.

"Kamu kalo masih iseng terus gini mendingan kita langsung pulang ya. Aku udah kenyang banget sama gombalanmu."

Laki-laki itu tertawa sekali lagi bahkan tanpa melepaskan genggaman tangannya, yang diam-diam kuharap memang tidak akan dia lepaskan itu.

"Drive thru McD aja gimana? Aku masih pengen gini sama kamu, nanti kita muter-muter dulu aja, sampe Solo juga nggak papa."

Kan. Sekarang gimana caranya aku bisa menyebut momen ini romantis kalau setiap celetukan asal Jonathan justru membuatku tidak kuat menahan tawa.

"Kamu jangan bikin aku mikirin ulang keputusanku barusan ya, Jo."

"Ya Allah sumpah galak banget sih kamu, Nan, sekarang. Enak aja mau mikirin lagi, udah habis kesempatanmu buat mikir orang tanganmu aja udah nggak mau lepas gini."

"Eh?"

Jonathan terbahak-bahak sekali lagi. Kali ini ia bahkan dengan isengnya justru mengecup punggung tanganku, membuatku kembali berdebar-debar.

"Nggak papa kalau kamu mau jalanin hubungan ini pelan-pelan dulu, Nan. Aku bakalan nunjukin ke kamu gimana bedanya Jonathan Salim dulu sama sekarang. Biar kamu nggak ada pertimbangan lain lagi selain mau jadi istriku."

"Kita bahkan belum ada satu jam pacaran dan kamu udah ngomongin soal istri, Jo. Pelan-pelan dari mananya?"

Seperti biasa, tawa Jonathan melebar seolah-olah ucapannya tadi sama lucunya dengan kalimat isengnya yang lain.

"Ya memang pelan-pelan, tapi harus ada target yang jelas, Nan. Kamu maunya nikah kapan?"

"Jonathan Salim, plis deh. Mending kamu nyetirnya agak kenceng dikit, perutku udah laper banget dari tadi, segala dikasih tambahan pikiran aja."

"Lho seriusan aku nanyanya, Nan. Kalo aku jujur misalnya tahun ini masih belum siap. Kita juga harus kenalan keluarga dulu, ya antara tahun depan atau paling lambatnya nih tahun depannya lagi. Itu juga kalo bisa jangan. Tahun depan aja udah paling pas, Nan."

"Kan kamu mulai lagi."

Jonathan memamerkan cengirannya sekali lagi. Biarpun diam-diam aku juga mulai ikut berpikir yang sama. Bisa heboh orang serumah kalau tiba-tiba tahun ini aku memutuskan menikah.

"Bulan depan insya Allah Mas Kenang mau lamaran ke pacarnya. Kamu mau ikut, kan? Sekalian kenalan yang lebih proper ke keluargaku. Gimana?"

Sejujurnya aku juga agak khawatir ketika harus mengangkat topik perkenalan keluarga sekali lagi. Mengingat hubungan kami dulu seringkali menegang karena hal ini.

"Sebagai gantinya, bulan depannya lagi kamu ikut aku ke Malang, ya?"

Tanpa diduga Jonathan justru mengiyakan permintaanku dengan cepat. Bahkan sekarang gantian aku yang tercengang karena permintaannya.

SementaraWhere stories live. Discover now