Part 16

332 40 1
                                    

Sejak kejadian bertemu Jonathan dan Sandra di Ambarrukmo, ditambah lagi bonus harus membiarkan Tristan melihat kekacauan itu, aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk mengingat apapun yang terjadi selama beberapa bulan terakhir dengan Jonathan.

Laki-laki itu seolah datang, membawaku ke dalam perasaan baru bahkan hubungan baru juga, untuk kemudian hanya membiarkanku kembali merasakan hal seperti ini lagi.

Sejujurnya aku tidak membenci Jonathan, tidak juga memiliki keinginan untuk mengonfrontasi Sandra tentang kemungkinan hubungan seperti apa yang ia miliki dengan mantan pacarku.

Aku hanya merasa semua terjadi terlalu cepat. Belum lagi kedatangan Tristan yang mengatakan untuk mendekatiku, dan yang juga belum kuiyakan sampai sekarang.

"Nan, kopi, gih. Seminggu lebih aku berasa kerja sama zombie kalau kamu begini terus."

Reno meletakkan cup plastik yang bisa kuduga pasti berisi caramel itu.

"Nggak ada simpati-simpatinya sama orang baru putus juga. Udah ini minum sendiri aja. Nanti aku bikin kopi sendiri di pantry." Aku mendengus kesal sambil mengembalikan cup kopi itu pada Reno yang justru terbahak.

Ia tahu betul, kekesalanku bukan soal perhatiannya, melainkan tentang nama Raos yang tercetak di gelas plastik tersebut. Sudah gila memang anak ini, yang bahkan membelikanku kopi dari kedai mantan pacarku sendiri.

"Minum aja, udah. Yang bikin bukan mantanmu, kok. Udah cabut anaknya."

Kali ini pekerjaanku terpaksa berhenti. Aku menatap kopi yang kembali ditaruh Reno di atas mejaku itu dengan berbagai macam pertanyaan.

"Cabut gimana, Ren?"

"Ya cabut. Nggak di Jogja lagi dia sekarang."

Aku tertegun. Sama sekali tidak memikirkan opsi bahwa aku akan mendengar berita semacam ini dari Jonathan. Aku tahu ia bukan laki-laki emosional yang bahkan sampai memutuskan meninggalkan pekerjaannya hanya karena masalah pribadi nggak penting seperti ini.

"Tadi aku ketemu Mas-nya, bilang katanya Jonathan dua hari yang lalu mau pindah dari Jogja. Ada interview di Jakarta. Nggak paham juga deh interview-nya di mana."

Reno kembali mengatakan hal yang membuatku terkejut.

Jonathan pindah ke Jakarta?

Bahkan sampai kami putus pun, ternyata masih ada hal yang harus disembunyikan oleh laki-laki itu.

"Udah, nggak usah terlalu dipikirin lagi. Katanya nggak jodoh. Nggak jodoh itu ya mau diapain juga nggak jodoh, Nan. Kamu nggak usah terlalu mikir keras buat hal-hal yang cuma bakalan bikin kamu pusing sendiri."

Reno benar. Alasan ketidakjodohan antara aku dan Jonathan seharusnya cukup mampu membuatku tidak terlalu banyak berpikir, kan?

*******

Pukul tujuh lewat, sama sekali belum ada tanda-tanda pekerjaanku akan selesai. Reno sendiri terlihat masih sibuk di kubikelnya. Pengaruh beberapa kolom baru di Living ternyata cukup mampu menambah intensitas pekerjaan, sekaligus menyita waktuku.

Aku baru saja akan membuka lunch box pesananku sejak sore tadi, ketika tiba-tiba ponselku berdering dan menampilkan nama Tristan pada caller ID-nya.

Ya. Rasanya memang urusanku dengan laki-laki tidak semudah itu bisa selesai. Jonathan belum sempurna tutup buku, muncul lagi Tristan.

"Iya, waalaikumsalam, Tan. Ada apa?"

Aku akhirnya kembali mengurungkan niatku untuk makan malam.

"Aku? Di kantor lah, memangnya kenapa?"

Keningku berkerut tak paham dengan pertanyaan 'lagi di mana?'yang diajukan Tristan barusan.

SementaraWhere stories live. Discover now