Tentang Kinanthi

332 41 0
                                    

Gue baru saja menyelesaikan salah satu presentasi dari beberapa presentasi lagi yang harus gue kerjakan, sebelum gue harus kehilangan konsentrasi mendadak hanya karena iseng membuka HP sebelum kembali ke kubikel gue, dan justru mendapati sebuah pesan WhatsApp.

From : Kinanthi

Apa kabar, Jo?

Congrats buat kerjaan barunya, ya.

Gue bahkan sampai harus mencari tempat duduk terdekat, dan mengutuk diri gue sendiri karena tidak sempat minum sebelum presentasi tadi, karena entah apa korelasinya antara pesan dari mantan dan tenggorokan gue yang mendadak kering sekarang.

Memutuskan untuk kembali sadar bahwa gue masih harus menyelesaikan beberapa materi untuk presentasi lagi, gue memilih untuk mendiamkan sejenak pesan tersebut dan kembali ke kubikel gue.

Tetapi gue lupa, bahwa mungkin nanti sampai kiamat, tidak ada satu pun manusia yang bisa memastikan logika dan perasaan bisa berjalan beriringan kalau sudah berada di dalam posisi gue sekarang.

Laman PowerPoint yang biasanya jadi makanan sehari-hari gue selama kurang lebih beberapa bulan terakhir ini, mendadak seolah mengolok gue karena tidak ada satupun materi di sana yang bisa gue cerna dengan baik. Sementara otak gue, si Jonathan Salim yang lolos recruitment di agensi yang namanya cukup besar ini karena esai-nya, mendadak tumpul dan cuma terisi pertanyaan soal kabar dari Kinanthi tadi.

Damn. Gue ternyata belum sepenuhnya lupa pada perempuan yang sudah menjadi mantan gue itu.

"Muka gak enak banget, Jo? Sakit?"

Gue menoleh cepat dan mendapati Sandra yang ternyata sudah berdiri di depan kubikel gue sembari membawa map.

"Oh, nggak kok. Kurang tidur aja, San. Oh iya, buat yang di cabang baru, yang berangkat aku aja, ya. Kamu urus yang udah dikirim Pak Darma aja."

Gue memilih untuk segera mengalihkan perhatian Sandra yang sepertinya sempat mendapati gue sedikit melamun tadi. Perempuan itu juga dengan cepat mengubah ekspresinya yang penasaran dengan senyum lebarnya.

"Oh oke, Jo. Lunch bareng?"

Gue terpaksa menggeleng.

Bukannya gue tidak paham bahwa ada usaha dari Sandra untuk kembali mengakrabkan dirinya dengan gue sejak kedatangannya ke Jogja berbulan-bulan yang lalu, bahkan sampai menawarkan posisi supervisor product di perusahaan kenalannya ini buat gue, tetapi rasanya gue akan sangat jahat kalau terus membiarkan perempuan itu salah paham antara kebaikan dengan penerimaan.

"Masih ada materi yang belum kelar, San. Duluan aja, aku gampang, lagian masih kenyang."

Kenyang my ass.

Sarapan aja gue nggak sempat saking hectic-nya jadwal presentasi satu ke presentasi lain, ditambah lagi kunjungan cabang per cabang yang membuat gue jadi lebih sering mencuri waktu makan di sela pekerjaan gue.

"Ya udah, turun dulu, ya, Jo. Ntar chat aja kalau mau nitip sesuatu." Sandra berlalu setelah gue mengacungkan kedua ibu jari gue sebagai jawaban atas tawaran baiknya.

Posisi sulit.

Entah takdir macam apa, atau entah dosa apa yang dulu sempat gue lakukan di masa lalu sampai akhirnya membuat gue terjebak di antara posisi paling tidak mengenakkan seperti sekarang.

Pertama soal rencana gue untuk bekerjasama dengan Sandra dulu, saat ia pertama kali datang ke Jogja dan mengatakan akan membuka sebuah usaha lunch box yang akan mengajak usaha kopi gue untuk turut serta, namun justru gagal sejak dalam wacana dikarenakan teman Sandra yang akan menjadi investor justru tersandung kasus pencucian uang.

Hal yang akhirnya gue syukuri karena dengan itu gue tidak perlu sampai harus berurusan dengan hal-hal yang berbau hukum seperti itu.

Kedua, soal Sandra juga ternyata justru membuka kesempatan gue untuk mendapatkan posisi di perusahaan milik kenalannya yang lain. Gue harus akui, untuk ukuran perempuan dengan kesibukan sosialita, Sandra cukup pintar dalam mencari kenalan.

Ketiga, sekaligus yang cukup membuat gue gila sampai harus secara sadar menyerahkan Raos kepada Mas Andre, kakak gue, dan memilih untuk pindah ke Jakarta, adalah perempuan bernama Kinanthi tadi, yang WhatsApp-nya bahkan belum gue balas sampai saat ini.

Nggak, gue bukannya gagal move on. Gue justru sedang berupaya move on, membangun hidup baru gue yang tidak di Jogja, sekaligus menantang diri gue sendiri untuk sekali lagi bekerja di lingkungan kantoran.

Sama sekali tidak ada alasan khusus soal itu.

Gue juga sempat merutuki kebodohan gue yang gegabah menanyakan kabar Kinanthi kepada Reno kemarin. Hal yang tanpa sadar gue lakukan saat Reno menghubungi gue untuk menanyakan kabar.

Dan sekarang, kecerobohan itu justru mengantarkan gue kepada satu perasaan baru yang entah kenapa justru membuat gue sama sekali tidak nyaman.

*******
"Jadi Pak Jonathan, untuk besok saya akan siapkan laporan yang Bapak minta, beserta kesiapan gudang penyimpanan untuk ditinjau terkait dengan kelayakan produk yang Bapak maksud tadi."

Gue memperhatikan ucapan Kania, staf manajer yang membawahi salah satu cabang kafe kopi yang sedang gue supervisi sekarang. Perempuan itu sibuk mencatat poin-poin apa yang gue sampaikan terkait dengan laporan penjualan yang gue minta.

"Baik Mbak Kania, saya pamit dulu. Nanti kalau memang sudah disiapkan semua, saya tunggu kabarnya."

Gue segera merapikan laptop dan map yang gue bawa sebelum benar-benar pamit dari hadapan Kania.

"Nggak mau ngopi sebentar, Pak? Sekalian kan, mumpung disini?"

Tawaran Kania terdengar tulus, lagipula nggak ada salahnya juga, kan, gue memanfaatkan posisi gue untuk mendapatkan 'privilege' bernama ngopi gratis ini di cabang yang memang sedang gue pegang?

Gue mengangguk cepat, membuat senyum Kania melebar.

"Sebentar, Pak, saya siapkan dulu."

Segera perempuan itu bergerak menuju ke balik bar, menginstruksikan sesuatu kepada salah seorang helper di sana, lalu tak lama kembali ke hadapan gue dengan segelas Americano, yang juga merupakan special dish di tempat ini.

"Sepertinya beda umur kita nggak begitu jauh, Pak. Saya baru lulus kuliah nggak lebih dari 5 tahun lalu kok."

Gesture santai Kania untuk membuka obrolan, tak urung ikut menularkan kenyamanan yang sama bagi gue.

"Panggil Jonathan aja, saya juga belum terlalu tua buat dipanggil Pak."

Senyum Kania melebar. Perempuan ini sepertinya tipikal orang yang mudah akrab dengan orang lain, terlihat dari bagaimana caranya memilih kopi sebagai sarana memperlancar komunikasi antara cabang dengan bagian kantor pusat sepertiku.

Obrolan kami mengalir santai, mulai dari membicarakan asal daerah, jurusan kuliah, bahkan soal target-target yang harus dikuasai demi lancarnya baik dari sisi bisnis maupun operasionalnya.

"Aku juga nggak nyangka kalau esai-ku bisa langsung diterima sama orang pusat. Padahal cuma modal punya warung kopi kecil."

Kania sekali lagi tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat foto kedai Raos yang kutunjukkan kepadanya barusan.

"Bohong banget kalau bilang itu warung kopi. Bayanganku kalau warung itu ya minimal 2 bangku lah, gak ada lampu, lilin atau semacam petromaks gitu aja sama gorengan deh. Plus gak ada juga mamang warung yang pakai apron barista gitu, Jo."

"Jangan salah, Ni, warung di Jogja emang standard-nya begitu. Nanti lama-lama, angkringan itu maunya cuma rekrut chef lho.."

Sekali lagi Kania tertawa.

"Ngayal banget. Sekalian aja nanti di angkringan ada appetizer sampai dessert ya."

Kami masih saling melempar guyonan, yang membuat gue bahkan tidak sadar kalau sudah menghabiskan jatah waktu lebih dari 2 jam di satu cabang saja.

Hal yang membuat gue juga lupa, bahwa ada satu pesan yang masih belum bisa gue jawab hingga sekarang.

SementaraWhere stories live. Discover now