Dari Tristan

313 45 0
                                    

Aku mungkin belum pernah menjelaskan pada Kinanthi, perasaan seperti apa yang kumiliki terhadap perempuan itu.

Aku ingin mendekatinya, memang.

Ingin lebih dari sekadar berteman, tentu saja.

Tetapi bukankah untuk menuju ke arah itu, aku harus lebih dulu bisa menjelaskan seperti apa bentuk perasaanku terhadap dia? 

Perasaan senang yang muncul sejak aku melihatnya di ruang tamu kantornya, sesaat sebelum sesi wawancaraku dengan Living dimulai.

Perasaan gugup yang pada akhirnya justru membuatku berani meminta kontaknya setelah wawancara itu selesai, yang justru disambut dengan tatapan kaget dan tidak percaya dari gadis itu.

Perasaan ingin tahu yang muncul ketika aku melihatnya sedang memijit-mijit tengkuk dan pelipisnya, dengan ekspresi menahan sakit, di ruang tamu Living, sebelum aku akhirnya bisa mengantar Kinanthi pulang untuk pertama kalinya.

Juga soal debar yang tidak bisa dijelaskan setiap kali kami jalan berdua, saat melihat pesan singkatnya muncul, saat telepon demi telepon itu bersambut, juga tentang berbagai obrolan yang timbul dua arah diantara kami.

Aku masih butuh menjelaskan semua itu sebelum bisa mengajak Kinanthi menuju sebuah hubungan yang tadi kumaksud lebih dari sekadar teman.

*****

Perempuan yang baru muncul dari kamarnya itu terlihat benar-benar cantik, yang bahkan langsung membuatku kehabisan kalimat sesaat sebelum Kenang, kakaknya, berceletuk yang disambut dengan desis tajam dari perempuan itu.

Sama sekali tidak ada kesan berlebihan pada dandanannya sore itu. Dress lengan sesikunya, sepatu berhak rendahnya, kalung mungil di lehernya, bahkan rambutnya yang cukup dikuncir ekor kuda, serta sapuan make up di wajahnya, terlihat tepat. Sama sekali tidak ada penyangkalan untuk itu.

Hal yang akhirnya membuat rencanaku untuk cukup mengajak perempuan itu ngopi di mall, buyar seketika.

Sama sekali tidak ada yang bisa kupikirkan selain untuk membawa perempuan itu pulang ke Surabaya, mengatakan pada Ayah dan Ibu bahwa aku sudah menemukan satu perempuan yang ingin kunikahi saat itu juga. Pikiran gila yang akhirnya kuredam, lalu membuatku berbelok ke arah Canting, memilih salah satu tempat duduk di luar ruangan menghadap langsung pemandangan Jogja di malam hari.

Bukannya apa-apa, aku hanya khawatir jika tidak ada pemandangan lain untuk pengalihan, aku akan berakhir dengan ditinggal pulang oleh perempuan itu yang jengah karena terlalu lekat kuamati.

Perempuan itu bahkan seolah tidak sadar dengan sikapku yang jauh lebih gugup dibandingkan saat aku pernah mengajaknya untuk makan di apartemenku dulu. 

Kinanthi dan ketidaksadarannya akan efek yang ia timbulkan, ternyata masih cukup mampu membuatku harus mati-matian menahan ucapan berisi lamaran pernikahan, yang bisa saja langsung kukatakan sejak perempuan itu masuk ke dalam mobilku tadi.

"Sahabatku itu sebenarnya justru pacarnya Reno, Tan. Namanya Alya. Tapi dia kerja di Solo, dan karena aku justru sekantor dengan pacarnya, jadilah si Reno itu sok asik ikutan jadi sahabatku."

Penjelasan Kinanthi tak urung membuatku mengangguk-angguk. Yah, setidaknya sekarang aku sudah lebih paham bahwa kedekatan Reno dan Kinanthi sama sekali tidak perlu menjadi satu hal yang kukhawatirkan.

"Reno bahkan jauh lebih cerewet dibanding Mas-ku. Kadang aku nggak tahu lagi gimana Alya bisa tahan menghadapi anak itu."

"Kalian udah kenal lama?" Aku akhirnya menemukan diriku sendiri bertanya pada perempuan itu.

"Lumayan lah, dari pertama kali pindah Jogja. Alya langsung kaget pas aku bilang diterima kerja di Living. Waktu itu seingatku mereka masih proses pendekatan, deh."

SementaraWhere stories live. Discover now