Part 6

415 43 0
                                    

Selesai makan, baik aku maupun Jonathan memang memilih untuk tidak langsung buru-buru pulang.
Udara Jogja malam ini nyatanya juga bisa dibilang cukup bersahabat sehingga kami bisa sejenak bersantai dan menikmati suasana di depot itu.

"Jo, minggu depan aku ambil cuti tiga hari kaya'nya."
Jonathan yang kembali memesan wedang angsle, sibuk menikmati pesanannya meski masih mendengarku.

"Mau liburan kamu?"

Aku menggeleng. "Nggak ada rencana apa-apa, palingan istirahat di rumah aja. Ibu udah mulai rewel lihat aku nggak pernah ambil cuti."

Jonathan mengangguk paham.

"Nggak ada nanyain aku, Nan?"

Aku mendongak dan mendapati Jonathan menatapku lekat-lekat.

"Ibu maksudnya?"
Ia mengangguk cepat.

"Ada, sih. Beberapa hari lalu, yang kamu bawain dimsum itu."

Kali ini Jonathan justru tertawa. "Oh, jadi karena dimsum-nya, ya? Bukan karena akunya?"

"Apaan deh. Nggak gitu, Jo. Ya Ibu nanyain aja, kenapa kamu nggak mampir waktu itu. Malah cuma nitip dimsum pula.."

"Trus kamu jawab apa?"

"Ya aku bilang, Ibu, Jonathan itu repot banget sama kedainya, bisa ngantar aku pulang aja udah alhamdulillah."

Kali ini Jonathan mengedip-ngedipkan matanya tak paham kearahku.

"Serius kamu bilang gitu?"

Aku mengangguk. Lalu kali ini gantian ia yang tertawa.

"Kok ketawa?"

Jonathan berusaha meredakan tawanya baru kemudian menjawab pertanyaanku.

"Iya, kamu ngomong seolah-olah aku ini punya kedai segede tempat ini sampe segitu repotnya. Nggak papa kali, Nan, bilang aja, Jonathan belum siap, Bu. Gitu."

Aku mencebik. "Belum siap, memangnya kamu mau di tes apa sama Ibuku."

"Ya bukannya mau di tes atau apa, Nan. Belum siap aja kalau tiba-tiba Ibumu nanya, kapan ngelamar kamunya."

Aku menggigit bibir bawahku. Jonathan ini memang rasanya dilahirkan sebagai laki-laki yang punya kadar kepekaan lima kali lebih tinggi daripada laki-laki pada umumnya.
Dan untuk kasus kali ini, aku sama sekali tidak tahu, apakah seharusnya aku bersyukur atau mengumpat karena ia bisa menebak dengan tepat.

"Nan, maaf, ya.."

"Maaf buat?"

"Ya maaf, karena aku belum memenuhi ekspektasi kamu, dan orangtuamu."

Aku diam. Pembahasan ini entah kenapa menjadi salah satu topik bahasan yang paling tidak pernah kusukai.

"Memangnya aku ekspektasi apa ke kamu. Kaya' kamu tahu aja."

Jonathan lagi-lagi tertawa. Meskipun entah kenapa tawa itu rasanya justru sedang menusuk perasaanku hingga nyeri.

"Aku nggak mau naif, Nan. Dari awal aku udah pernah bilang sama kamu. Kita nggak akan mudah. Tapi kamu percaya, ya, aku nggak diam aja biar bisa pantas sama kamu."

Jantungku seolah mencelos begitu mendengarkan ucapan Jonathan barusan.

"Jangan ngomong gitu, Jo. Kesannya kaya' aku ini sebaik apaan aja."

Sekali lagi Jonathan meraih telapak tanganku di atas meja, lalu meremasnya pelan.

"Kalau kamu nggak sebaik ini, aku nggak mungkin setakut sekarang, Nan."

SementaraWhere stories live. Discover now