Part 4 - Bersama

495 51 2
                                    

Dua bulan berkenalan, semua yang awalnya kupikir tidak mungkin, ternyata bisa menjelma jadi kemungkinan jika itu bersama Jonathan.

Singkatnya, kami berpacaran.

Sebuah keputusan gila yang kuambil hanya dalam hitungan bulan sejak putusku dengan Damar. Hal yang juga mengejutkan Reno, dan tentu saja satu orang yang saat ini sedang intens menginterogasiku.

"Kalian kenalan dimana? Berapa lama sampai segampang ini kamu memutuskan pacaran?"

Aku menyeruput kembali teh hangatku. Sementara Ibuku masih tanpa menyerah memintaku menjawab seluruh pertanyaannya.

"Kenal karena Jonathan yang punya kafe kopi langgananku, Bu."

Kening Ibu masih berkerut tanda ia belum mau menyudahi obrolan kami pagi ini.

"Segampang itu?"

Kali ini gantian keningku yang berkerut tak paham.

"Bu, waktu aku putus dari Damar, Ibu bilang bagusnya aku cepat cari pengganti. Sekarang udah ketemu penggantinya, Ibu bilang itu terlalu gampang.."

Ucapan bernada protesku membuat Ibu memilih diam sebagai jawabannya.

"Aku sudah bukan anak umur tujuh belas tahun lagi, kok, Bu. Udah paham mana hubungan yang bisa diteruskan, mana yang enggak. Lagian Ibu kan juga belum kenalan sama Jonathan, kan.."

"Ibu bukannya nggak percaya kamu bisa memilih pasanganmu sendiri, Nan. Ibu cuma nggak mau kamu salah pilih dan akhirnya putus juga seperti kamu dan Damar."

Aku tertawa kecil.

"Bu, Damar itu selingkuh. Jelas aku nggak bisa bertahan kalau harus sama laki-laki yang seperti itu. Tapi ini Jonathan, Bu. Beda sama Damar.."

Ibu memandangku dengan agak sinis. Aku tahu, ucapanku barusan terdengar sangat percaya diri untuk ukuran seseorang yang baru dua bulan saling kenal.

"Tahu darimana kamu kalau Jonathan beda dari Damar?"

"Setidaknya dalam beberapa bulan ini, nggak pernah sekalipun Jonathan bohong sama aku. Kalau Ibu masih mempermasalahkan, apa ini karena Jonathan bukan orang kantoran seperti Damar, atau siapapun itu yang Ibu mau?"

Aku tahu ucapanku barusan justru akan menyulut api emosi antara aku dan Ibuku, tetapi lebih baik seperti ini, daripada aku terus memendam isi pikiranku yang sebenarnya sudah kupahami bahkan sejak jauh hari sebelum aku memutuskan menerima Jonathan seperti ini.

"Toh aku dan Jonathan baru pacaran, Bu. Kami juga bukannya mau menikah besok. Masih perlu saling kenal dan penjajakan. Ibu jangan mikirin yang terlalu jauh dulu.."

Kali ini Ibu berdecak pelan. Agak tidak menyangka mungkin jika anak perempuannya ini justru memandang sebuah hubungan dengan sesantai itu.

"Jadi kamu pacaran ini bukan karena berpandangan untuk segera menikah, Nan?"

Terpaksa aku mengangguk. Membuat Ibu berdecak sekali lagi.

"Bu, aku masih dua puluh lima. Targetku juga masih jauh dari ini."

Ibuku terbelalak. Kepalang tanggung, aku melanjutkan, "di pikiranku, paling nggak aku baru nikah umur dua delapan, kok. Jadi Ibu yang tenang ya.."

Refleks Ibu memukul lenganku pelan. 

"Kamu ini nggak ada kasihan-kasihannya sama Ibu. Gimana Ibu mau jawab kalau Pakdhe-Budhemu tanya kapan kamu nikah?"

Kali ini aku tersenyum singkat.

"Bilang aja tiga tahun lagi, Bu. Kinan-nya masih repot banget."

"Nan, Ibu serius. Pertanyaan kapan kamu nikah itu nggak cuma bikin mulut Ibu capek karena jawab, tapi juga bikin telinga panas, karena saking seringnya."

SementaraWhere stories live. Discover now