Part 5

453 49 0
                                    

"Masih pagi Kinanthi. Ya Tuhan udah bawa kopi aja ini anak. Bisa nggak sarapannya yang beneran dikit gitu?" repetan omelan dari Reno menyambutku sesaat setelah aku duduk di kubikel kerjaku.

"Masih pagi bisa nggak, ngomelnya dipake buat nanti siangan?"

Reno terbahak mendengar jawabanku.

"Nggak papa, sih, Nan, pacaran sama barista Daniel Mananta itu. Tapi bukan berarti sepagi ini langsung dikopi-in, kan?"

Aku mencibir kecil. "Bilang aja pengen. Lagian ini basian semalem kopinya. Biasalah, mana pernah sekarang aku dibikinin kopi satu gelas doang sama dia?"

Gantian Reno menyambar gelas kopi yang kutaruh meja dan menyeruput isinya.

"Kasian ya si Jonathan Manantha itu.."

"Jonathan Pria Salim. Heran, seneng banget ganti-ganti nama orang, deh." aku kembali merebut gelas kopiku. Melindunginya agar Reno tidak bisa merampasnya lagi.

"Seriusan, Nan, agak prihatin aku sama Jonathan.."

Aku mengerutkan kening tak paham, "kasian kenapa?"

Reno menunjuk kopi yang sedang kuhabiskan sisanya itu. "Itu. Baru pacaran dua bulan aja rasanya kamu udah habisin jatah omset dia setahun belakangan."

Aku mencibirnya sekali lagi. "Enak aja kalo ngomong. Dikata aku kaya' gini tiap hari apa?"

Tanpa benar-benar menjawabku, Reno langsung ngacir menuju mejanya sendiri. Meninggalkanku dengan gelas yang isinya sudah tandas ku minum itu.

Memang baru hitungan bulan aku dan Jonathan pacaran, tetapi melihat bagaimana sikapnya selama dua bulan ini, agak sangsi memang kalau menganggap ia tidak semacam 'rugi bandar' sejak pacaran denganku.

Mulai soal bagaimana hampir setiap hari aku mampir ke kedai kopinya. Yang otomatis aku pasti juga disuguhi caramel kesukaanku, atau kalau sedang tidak begitu minat dengan minuman yang manis, aku memilih alternatif hot dark chocolate-nya yang juga tidak kalah enak itu.

Belum lagi kalau ia sedang kelaparan, dan memaksaku untuk sarapan bareng. Atau bisa ditambah dengan makan malam bersama, yang setidaknya biasa kami lakukan lima hari dalam seminggu.

Dan hampir semuanya, selalu Jonathan yang mengambil alih.

Jangan salah paham dulu, bukan sekali dua kali aku memaksa untuk gantian membayar, atau seperti istilahku biasanya 'gantian nraktir' yang hampir semuanya selalu ditolak oleh Jonathan.

"Kamu daripada nraktir aku, mending belajar masak, Nan. Baru deh aku mau.."

Ucapan klise-nya yang lagi-lagi memaksaku untuk diam dan membiarkan ia melakukannya.

Tetapi makin kesini, rasanya aku justru merasa ini ganjil, alias aku merasa hal sepele soal 'siapa yang membayar' ternyata bisa cukup membuatku mendadak tidak nyaman.

Sebelum dengan Jonathan, aku memang bukan tergolong perempuan manja yang kemana-mana harus diantar maupun dijemput, atau kalau makan harus dibayari. Untuk kencan pertama, masih bolehlah prinsip pasif itu dilakukan. Tetapi selanjutnya, bagiku rasanya hanya kurang bijak kalau harus terlalu bergantung pada pasangan.


*******

"Yang, nanti malem temenin nyari nasi timlo, ya.."

Telepon Jonathan siang itu terpaksa menghentikanku sejenak dari urusan edit-mengedit naskah ini. Seperti biasa, 'bayi besar'-ku itu mendadak ingin kulineran lagi.

"Ngidam kamu? Biasa juga nasi goreng deket Raos.."

"Ya lagi pengen aja. Dingin-dingin gini kalo makan berkuah pasti enak. Kamu nggak lembur, kan?"

SementaraWhere stories live. Discover now