Part 38

242 29 2
                                    

Hampir dua minggu berlalu sejak kejadian kedatangan Tristan di Jogja yang berujung dengan penolakanku. Dan sejujurnya tidak banyak yang berubah dari keseharianku. Benar sekali pada siapapun yang pernah berkata, bahwa terkadang patah hati itu tidak berlaku bagi manusia-manusia dewasa. Karena faktanya, seperti hari ini, pekerjaanku sama sekali tidak memberiku jeda barang sejenak untuk menikmati apa-apa yang bertahun-tahun lalu kuanggap sebagai kegalauan.

"Nan, dipanggil Pak Bos ke ruangannya tuh.."

Reno yang baru saja kembali dari ruangan Mas Idham ternyata membawa surat panggilan yang sama untukku. Beberapa hari ini majalah sedang benar-benar hectic ditambah resign-nya beberapa orang dari divisi marketing yang pastinya membuat Mas Idham kalang kabut mencari pengganti yang tentu saja tidak mudah itu.

"Rada bertaring dia akhir-akhir ini. Wish you luck, deh."

Wajah tengil Reno yang tertekuk ditambah dengan helaan nafasnya yang super lebay itu seketika membuatku paham, panggilan menuju ruangan Mas Idham kali ini bukan tentang guyonan receh atau hal-hal sepele macam artikel yang salah letak lagi.

Berbekal satu notes khusus yang selalu kugunakan untuk mencatat dan sebuah bolpoin, aku bergegas menuju ruangan pimpinanku itu.

"Siang, Mas."

Mas Idham yang kali itu baru saja menyeruput kopinya langsung mempersilakanku untuk duduk. Raut wajahnya yang lebih terlihat serius dibandingkan biasanya seketika membuatku paham.

"Sori ya ganggu kerjaan. Tapi ada hal urgent yang harus saya sampaikan ke kamu, Nan."

Oke. Kali ini pasti sangat serius karena Mas Idham bahkan sudah menggunakan kata ganti saya alih-alih 'aku' seperti yang biasanya ia lakukan.

"Go on, Mas. Ada apa?"

Ia yang semula masih duduk di balik mejanya mendadak mendekatiku yang memilih duduk di sofa ruangannya.

"Bantuin divisi marketing ya, Nan. Please.."

Tidak ada preambule atau bahkan basa-basi khas Mas Idham membuatku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku kali ini.

"Mas, kamu ngerti aku nggak ada basic atau pengalaman apapun di situ, kan? Kenapa nggak cari yang bener-bener dari marketing aja, sih?"

Jujur aku langsung panik. Bukannya apa-apa, tetapi dari sekian banyak divisi pekerjaan, aku tahu benar bahwa divisi marketing adalah yang tersulit dan paling tidak ingin kuhadapi.

"Yang keluar langsung dua orang, Nan. Timpang banget posisinya sekarang. Kasihan Renita kalau harus pontang-panting sendirian. Paling nggak cuma beberapa bulan ke depan sampai aku bener-bener dapat pengganti ya.."

Tidak ada permintaan, melainkan utusan yang kudapatkan kali ini. Aku juga paham, mencari karyawan baru apalagi untuk divisi pemasaran dengan terburu-buru seperti saat ini amat sangat mustahil dilakukan.

"Terus kerjaanku gimana, Mas?"

Terlihat kilat lega dari kedua mata Mas Idham ketika mendengar jawabanku barusan.

"Aku udah bicara sama Reno, dan yah, emang salahku nggak siap-siap cari orang sejak ada wacana resign kemarin, sih. Tapi aku yakin kalian berdua bisa.."

Aku menggeleng pelan.

"Aku beneran nggak bisa, Mas, jujur.."

Tapi dengan jawaban pertamaku yang mirip dengan persetujuan tadi, aku yakin, apapun yang kuucapkan setelahnya tidak akan berarti apa-apa.

****

"Mas Idham kali ini bener-bener bukan idamanku lagi, Ren. Yang bener aja marketing. Kemampuan komunikasiku aja buruk begini kok disuruh jualan. Belum lagi lobi sponsor, pasti nanti kalopun mereka mau taruh slot iklan itu bukan karena mereka pengen, tapi karena males liat mukaku."

SementaraWhere stories live. Discover now