Part 25

350 53 1
                                    

"Kenapa? Kaget aku bilang kamu egois? Atau sebenernya kamu sendiri udah tahu kalau kamu ini egois?"

Aku memilih diam dan tidak menanggapi ucapan santai Alya. Aku tahu, obrolan ini akan berjalan sangat serius.

"Nan, aku kenal kamu nggak hitungan hari atau bulan, ya. Aku paham betul kamu bukan tipe orang yang suka ngumpulin fans. Kamu itu kalau suka ya lanjut, kalau nggak ya mundur. Jadi kalau sama Tristan ini kamu udah jalan sejauh ini, kenapa nggak sekalian diiyain?"

Alya benar. 

"Aku nggak tahu, Al. Aku nyaman sama Tristan, suka dengan cara dia memperlakukan aku, tapi kemarin pas lihat foto Jonathan, kamu ngerti gimana rasanya? Kaya' langsung chaos, Al. Aneh."

"Berarti masih ada perasaan sama Jonathan?"

Aku tidak menggeleng, tidak juga mengangguk.

"Aku masih berharap hubungan kami bisa diperbaiki, Al. Temenan juga nggak papa, asal bukan begini. Aku jadi merasa sedang punya musuh."

Kali ini Alya yang mengangguk paham.

"Jonathan juga butuh waktu, Nan. Nggak bisa kamu memaksakan kemauanmu begitu. Inget, kamu lho yang mutusin dia duluan. Lepas dari kesalahan siapa atau siapa kemarin, tapi jelas jadi pihak yang diputuskan itu rasanya berbeda dengan yang memutuskan."

"Tapi Jo juga nggak mau waktu aku ngajak balikan, Al. Can you imagine, udah sejatuh apa harga diriku waktu minta kesempatan lagi ke dia? Dan dia cuma bilang kalau yang terbaik buat kita, ya ini. Bahkan udah berbulan-bulan pun rasanya kaya' baru kemarin, Al."

Alya menepuk pelan bahuku. Ia paham betul aku sedang berusaha keras untuk mengendalikan emosiku sendiri saat ini.

"Kita nggak pernah paham, ya, Nan, ego laki-laki itu sekeras apa. Sama seperti mereka nggak akan pernah bisa memahami harga diri perempuan itu seperti apa, jadi ketika menurut kamu Jonathan terkesan sedang memusuhi kamu sekarang, ya kamu hargai aja. Bukannya aku belain dia, tapi kamu nggak tahu lho usaha apa yang sedang dia lakukan buat bisa kembali bersikap biasa ke kamu lagi."

Lagi-lagi ucapan Alya mengandung kebenaran. "Tapi sampai kapan dia bakalan kaya' gini ke aku, Al? Gimana aku bisa tenang jalanin hubunganku sama Tristan kalau aku masih kepikiran sikap Jonathan?"

"Nan, inget, nggak ada satupun orang yang berhutang penjelasan tentang sikap yang mereka pilih untuk menghadapi orang lain. Egois kalau kamu masih berharap penjelasan Jonathan, sementara kamu sedang merasa nyaman dengan laki-laki lain."

Seketika ucapan Alya seperti seolah sedang telak menamparku.


*****

Alya sudah pamit sejak beberapa jam lalu setelah dijemput Reno, tanpa lupa memberikan petuah terakhirnya sebelum benar-benar masuk mobil,

"Inget, Nan. sikap Jonathan ke kamu, sama sekali bukan ukuran soal sikap kamu ke Tristan. You do you. Laki-laki baik nggak datang dua kali."

Ucapannya yang ringan membuatku iseng menunjuk dengan dagu ke arah Reno yang sedang memundurkan mobilnya, lalu berlari-lari kecil untuk membukakan pintu bagi Alya.

"Kalo yang itu datang dua kali nggak?"

Alya mencebik singkat, tahu bahwa aku sedang menyindirnya yang ngambek sejak sepagian tadi.

"Itu sih mau diusir kaya' apa tetep datang lagi datang lagi."

Seketika aku terbahak. Mengingat si kepo itu ternyata benar-benar sudah membuat Alya bertekuk lutut.

"Yuk, Yang. Kamu satu aja kadang labilnya nggak ketulungan, jangan lama-lama kalau bergaul sama Kinan pas lagi galau gini, bisa cepet tua aku nanti."

Lagi-lagi Reno dihadiahi cubitan Alya di lengannya. Tetapi seperti yang sudah-sudah dan membuatku bergidik, bukannya kesakitan, ekspresi Reno justru lebih mirip sedang keenakan.

Aku mengingat acara pamitan mereka berdua tadi sambil tersenyum-senyum sendirian. Lalu menoleh ke arah ponsel yang sejak tadi memang sengaja tidak sering-sering ku cek, dan mendapati nama Tristan di dalam salah satu notifikasinya.

From : Tristan Bramastha

Nan, aku langsung balik ke Sby, ya. Ada operasi mendadak.

Nan, aku udah nyampe nih.

Nan, you ok?

Nan, bales ya kalau udah sempat.

Kinanthi.. 

Aku hampir-hampir tidak bisa menyembunyikan senyumku yang mendadak muncul hanya karena membaca pesan berturut-turut dari Tristan itu. Aku bahkan membaca deretan pesan singkat itu seolah bisa membayangkan bagaimana suara beserta ekspresi wajah si pengirimnya.

Sial. Kenapa aku jadi mirip dengan perempuan yang sedang kasmaran begini, sih?

Sebelum laki-laki itu mengirimkan pesannya lagi, aku memutuskan untuk langsung meneleponnya. Melihat betapa senggangnya manusia itu merecokiku dengan pesan-pesan singkatnya, aku yakin operasi yang ia maksud sudah selesai sejak tadi.

"Hei."

Panggilanku diangkat pada dering ketiga, memperdengarkanku suara Tristan yang sedikit serak, mirip seperti orang bangun tidur.

"Ketiduran?"

Pertanyaanku hanya dibalas gumaman tidak jelas, lalu berganti dengan dehaman pendek, kemudian tawa kecil.

"Iya, habis operasi aku istirahat di ruanganku eh ketiduran ternyata."

"Di sofa itu?"

Entah bagaimana aku bisa mendadak ingat kebiasaan laki-laki itu yang sering memilih untuk beristirahat atau tidur di sofa ruangannya.

"Iya, mana posisinya bikin punggungku pegal semua lagi."

Aku tak bisa menyembunyikan senyumku mendapati ucapan singkat Tristan yang mirip dengan aduan itu.

"Sibuk banget, Nan, seharian? Pesanku dicuekin semua."

Entah sudah berapa kali aku berusaha mencatat perubahan suara maupun emosi Tristan yang tertangkap telingaku. Dan anehnya hal itu  justru membuatku tersenyum.

"Alya datang ke rumah dari aku bangun tidur, trus baru balik beberapa jam lalu dijemput sama Reno. You know lah, satu Reno atau satu Alya aja bisa ngabisin jatah berjam-jam, apalagi kalau mereka digabung gitu.."

Terdengar tawa kecil di ujung.

"Kirain sengaja nggak mau balas pesanku lagi."

Seketika dahiku mengernyit.

"Apaan, nggak lah. Ngapain juga."

Tristan terkekeh sekali lagi. "Oh berarti mau ya?"

"Ya mau lah."

"Sama aku, mau?"

Kali ini tawaku yang muncul, walaupun tak bisa kupungkiri ada percikan hangat yang mendadak muncul di perasaanku akibat pertanyaan singkat Tristan barusan.

"Kamu ngigo, deh, kaya'nya. Mending cuci muka dulu biar bangun beneran."

Ucapan tajamku justru dibalas dengan derai tawa Tristan.

"Iya habis ini cuci muka kok, Nan, makasih ya tepat waktu banget kamu banguninnya. Aku habis ini ada meeting lagi."

"Ya udah disambung di chat aja, kamu lanjut duluan. Aku juga mau periksa kerjaan buat besok."

Terdengar tawa kecil sekali lagi dari Tristan di ujung telepon.

"Sounds perfect, Nan."

"Apanya?"

"Kita. Ya udah aku tutup dulu ya. Assalamualaikum."

Aku ikut menutup sambungan teleponku setelah mendengar salam dari Tristan tadi.

Dan sekarang perasaanku justru semakin tidak menentu.

Rasanya aku berharap hari segera berlalu, sehingga aku tidak perlu lama-lama merasa se berdebar ini lagi hanya karena telepon singkatku dengan Tristan barusan.


SementaraWhere stories live. Discover now