Part 37

261 30 9
                                    

"Ngapain jam segini belum balik, sih?"

Aku sudah menduga bahwa keberadaan Jonathan di kantorku tadi tentu saja tidak bisa lepas dari fakta bahwa Reno masih berada di kantor sampai aku kembali ke kubikelku.

"Tadi, nemenin mantanmu ngobrol aja. Katanya mau pulang bareng, gak jadi?"

Dengan santainya Reno menghabiskan satu cup kopi yang aku yakin pasti hasil memalaknya dari Jonathan.

"Udah kusuruh balik duluan itu anak. Lagian masih ada artikel ini, nggak mungkin bisa pulang cepet juga."

Reno mencibir sekali lagi.

"Halah artikel. Bilang aja males ngobrol sama mantan, takut diwawancara kalo barusan didatengin gebetan jauh-jauh dari Surabaya. Bawa apaan aja Pak Dokter?"

Aku menghempaskan duduk di kubikelku. "Bawa perasaan doang dia. Jauh-jauh dari Surabaya cuma buat dengerin aku ngomong nggak jelas. Surem banget hidup dia.."

Melihat gelagatku, Reno memilih untuk ikut mengambil duduknya menghadap kubikelku.

"Udah beneran ditolak nih?"

Seharusnya aku tidak perlu heran dan menjelaskan panjang lebar tentang apa saja yang terjadi barusan kepada Reno, karena toh dengan kemampuan ajaibnya dalam menggabung-gabungkan informasi, ia pasti sudah bisa menebak sendiri apa yang mungkin saja terjadi atau apa saja yang akan kukatakan nanti.

"Aku beneran nggak ngerti kenapa orang sebaik Tristan bisa kenal sama aku, begonya dia suka pula sama aku."

Reno kembali menatapku iba.

"Nggak, bukan bego itu, Nan. Cuma apes aja."

Tak urung aku tertawa juga. Meskipun hal yang sebenarnya sangat ingin kulakukan adalah menampol sosok sok iba di depanku itu. Tetapi sepertinya aku harus menyimpan energi itu untuk hal lain, menangis semalaman mungkin.

"Ya bukan salah siapa-siapa, sih, Nan. Ya situ juga udah nyoba, Pak Dokter juga nggak kehabisan cara. Tapi mau gimana lagi, jodoh kan nggak bisa di-request ya.."

Aku mengangguk pelan.

"Terus kenapa si Jonathan ikutan diusir tadi?"

Reno kembali mengingatkan soal Jonathan dan ucapannya yang sempat membuatku terganggu tadi sebelum memasuki kantor.

"Aku cuma nggak pengen ngobrol aja sama dia, Ren. Dalam keadaan begini, bego banget kalo aku milih dia buat jadi temen ngobrol.."

Dan sebelum senyum lebar Reno muncul, aku buru-buru menimpali, "ya sebenernya milih kamu juga tetap gak bijak, tapi ya daripada Jonathan, kan.."

"Sialan.." 

Tak urung aku terkikik juga mendengar umpatan laki-laki itu.

"Aku yakin sebenernya kamu bukannya nggak mau ngobrol sama Jonathan, tapi semacam lebih takut kalo terpengaruh dan akhirnya milih dia, kan?"

Sial seribu sial. Sudah tahu Reno bukan pilihan tepat untuk mengobrolkan hal-hal semacam ini, aku masih dengan sukarelanya mengumpankan diri seperti saat ini.

"Ren, please.. Ini bukan waktunya becanda."

"Lho siapa yang becanda? Aku serius itu tadi. Aku ngerti aja gelagatmu kalo udah mulai ada bau-bau gak profesional nih selalu begini.."

Aku mencibir sekali lagi.

"Nggak usah sok analis, deh. Aku justru begini biar otakku bisa mikir jelas, Ren. Aku ini lagi merasa bersalah ya.."

Reno justru terbahak mendengar jawaban ketusku.

"Merasa bersalah tapi lari ke kantor. Orang kalo merasa bersalah itu kaya' Dian Sastro, larinya ke bandara teriak nyuruh Nicholas Saputra biar berhenti, bukannya malah ke kubikel buka laptop buat benerin naskah yang udah separo bener.."

SementaraWhere stories live. Discover now