Part 39

176 32 0
                                    

"Nan, slot buat iklan masih ada, kan?"

"Nan, besok ketemu sama Mas Widi dari Kutubuku ya.."

"Nan, lusa jangan maksi di kantor, kita ke Sagan ketemu klien yang pengacara itu lho. Pak Arka.."

"Nan, yang iklan Gamma.co nanti final meeting ya.."

Notes berisi jadwal agenda yang dulunya cuma berisi footnote atau sekadar revisi-revisi kecil buatanku, mendadak lebih penuh karena jadwal-jadwal baru yang akhirnya menjadi tugasku sejak aku benar-benar resmi pindah divisi ke marketing.

Intensitasku di kantor juga semakin berkurang karena hampir 80% jam kerjaku ada di luar gedung Living alias berpindah dari satu lokasi klien ke lokasi lain. Sia-sia memang aku dulu pernah menolak panggilan interview dari sebuah bank yang mendapat rekomendasi dari laman sosial media LinkedIn-ku karena menawarkan posisi sebagai marketing, kalau sekarang yang kuhadapi juga jenis pekerjaan yang sama.

"Bener-bener, ternyata masih mending ngadepin Galang yang lupa riset daripada klien yang tiba-tiba ubah konsep sama minta slot banyakan, Ren."

Aku menghempaskan dudukku dengan kasar di kursi ruang makan saat aku dan Reno kebetulan bisa mendapat waktu untuk makan siang yang berbarengan. Laki-laki itu hanya terbahak mendengar omelanku tanpa benar-benar mempedulikannya.

"Tapi tiga minggu kayaknya anteng-anteng aja itu Pak Bos, berarti good sign kan?"

Aku mendengus pelan.

"Ya jelas good sign kalau bau-baunya aku bakalan lebih lama di situ dan belum ada wacana balik jadi editor lagi."

Reno masih terbahak. "Ya udah, sih, Nan. Selama belum ada surat resmi turun, anggep aja lagi belajar hal baru gitu lho.."

"Emang enak ya kalo tinggal ngomong.."

"Eh, Nan, mantanmu punya sodara cewek?"

Aku mengerutkan kening mendengar topik obrolan Reno yang mendadak berubah kali itu.

Aku menggeleng sebagai jawaban. "Gak paham, sih. Setahuku cuma punya Mas. Kenapa?"

Reno mengangguk-angguk kecil. "Kapan hari ketemu di tempat kopi, tapi dia gak tau, sih. Mau nyapa juga sungkan kelihatan seru banget ngobrolnya, Nan."

Aku diam, berusaha mencerna maksud Reno mengatakan hal barusan secara tiba-tiba. 

"Kamu kalo bilang ini cuma buat caper, nggak lucu ya, Ren. Basi."

Aku memilih untuk bangkit dari dudukku sambil membawa kopiku yang masih tersisa. Paham bahwa Reno pasti hanya sedang bermaksud untuk memancing obrolan yang jujur saja tidak begitu membuatku nyaman itu.

"Lah dia sewot.."

Bahkan meski pelan, aku masih bisa mendengar kalimat yang diucapkan Reno setelah aku keluar dari ruang makan barusan.


***


Aku sedang mengerjakan laporan saat tiba-tiba kubikelku dihampiri oleh Reno sekali lagi.

"Sori ya, Nan, tadi beneran nggak maksud apa-apa aku. Emang cuma mau cerita gitu aja, kok, sumpah.."

Aku mendongak sebentar untuk kemudian mengangguk pelan. "Iya, tapi itu nggak penting, Reno. Kamu tahu aku nggak suka, kan?"

Reno memamerkan cengiran lebarnya. "Iya iya nggak lagi-lagi, deh."

"Aku cuma nggak mau terpengaruh sama asumsimu yang nggak jelas itu, Ren. Lagian kalo kamu mikir aku sama Jonathan lagi clbk juga salah besar, jadi info-info receh kaya' gitu lain kali keep sendiri aja, ya.."

Ucapan terakhirku langsung membungkam Reno yang kali ini bergaya seolah-olah sedang mengunci mulutnya itu.

****


Malam harinya aku memutuskan untuk mampir ke salah satu co-working space setelah selesai dari salah satu klien yang mengajak meeting sejak sehabis maghrib tadi.

Dan baru saja aku memilih tempat duduk untuk kembali membuka penawaran yang tadi sempat kuajukan, mendadak senyum lebar dengan suara langkah yang tidak asing itu mendekat dan mengambil duduk yang sama denganku.

"Jogja ini memang kecil banget atau salah satu diantara kita baiknya pindah kota aja biar nggak drakor banget gini tiap hari ya?"

Jonathan yang baru menarik kursinya mendadak menghentikan gerakan tangannya.

"Kamu ini PMS atau apa, sih? Aku belum duduk belum apa udah dijudesin aja. Bentar, biarin aku duduk dulu gitu kek."

Aku memilih mengabaikan nada sok akrab Jonathan dan menduduki kursi di depan laki-laki itu dan mulai mengeluarkan laptopku.

"Aku mau kerja, Jo. Kalo kamu mau duduk di situ tolong diem, ya."

Kali ini Jonathan benar-benar melongo dan hanya mengangkat kedua tangannya di udara sembari tetap duduk di depanku.

"Nan."

"Kinanthi.."

Di panggilan keduanya, aku baru mendongak dan mendapati Jonathan menunjuk dua cangkir di depannya.

"Picollo-mu dingin."

"Biarin aja. Aku juga lebih suka yang dingin, kok."

Mendadak Jonathan menundukkan layar laptopku hingga separuh, membuatku kembali memelototinya yang justru memasang wajah super menyebalkan itu.

"Aku ini ada salah apa sama kamu, sih, Nan? Hukumanmu kejam banget gini."

"Jo, kamu yang pindah meja atau aku? Udah kubilang aku mau kerja. Lagian nggak ada juga yang minta kamu duduk di situ, kan? Hukuman-hukuman segala. Nggak jelas."

Jonathan bahkan masih menahan layar laptopku yang hampir tertutup itu.

"Reno ada cerita aneh-aneh apa ke kamu?"

Jujur aku terkejut dengan pertanyaan Jonathan barusan.

"Kenapa jadi bawa-bawa Reno, sih? Aku udah bilang, kan, aku mau kerja, dan kamu ganggu. Wajar nggak kalo aku marah?"

Jonathan mengangkat sedikit alisnya.

"Aku kenal sih emosimu yang kaya' begini.."

Sekilas aku balas menatap Jonathan yang masih lurus-lurus menatapku tanpa melepaskan tangannya dari layar laptopku.

"Persis pas kamu cemburu sama Sandra dulu."

Ucapan pelan Jonathan entah kenapa membuat perasaanku mendadak jauh dari kata nyaman.

SementaraWhere stories live. Discover now