Part 27

265 34 6
                                    

Sudah lebih dari dua minggu sejak obrolan seriusku dengan Reno, yang juga akhirnya semakin membuatku berani mengambil keputusan untuk bersikap seperti apa kepada Tristan. Beruntung laki-laki itu tergolong sabar dengan tidak banyak menuntut tentang apa atau bagaimana seharusnya hubungan kami berjalan.

Minggu kemarin pun, ia bahkan menggunakan hari liburnya untuk mengunjungiku ke Jogja. Aku paham bahwa hal itu mungkin adalah salah satu bentuk usahanya untuk serius terhadap ucapannya sendiri. 

Bohong kalau aku mengatakan tidak menikmati semua bentuk perhatian kecil dan sederhana semacam itu.

"Nan, selama di Jogja aku belum pernah lho jalan-jalan ke Taman Sari. Mau nemenin ke sana, nggak?"

Aku kontan tertawa mendengar permintaan Tristan di telepon kami kali itu.

"Seriusan belum pernah, Tan? Taman Sari lho ini, deket banget juga dari tengah kota." jawabanku cuma dibalas dengusan oleh laki-laki itu.

"Seriusan, makanya Sabtu nanti temenin aku kesana, yuk. Sesekali biar kamu olahraga jalan kaki, gitu."

"Dih, yang ada juga kamu yang nggak pernah jalan kaki, kali. Aku beberapa kali ikut reporter liputan kan jalan kaki."

Terdengar suara Tristan tertawa saat menanggapi jawaban penuh pembelaan dariku barusan.

"Berarti bisa, dong? Kan udah biasa."

Sial. Ternyata aku masih tetap kalah jawaban dari laki-laki satu ini.

"Jangan pagi-pagi banget pokoknya kalo jemput."

Lagi-lagi aku mendengar suara tawa Tristan di seberang telepon.

"Iya siap, Nan. Tapi bukannya makin siang pasti makin rame orang, ya, Nan?"

"Ya memang, sih, terus kenapa?"

Sengaja aku berpura-pura tidak paham pada pertanyaan Tristan barusan.

"Ya nggak papa, cuma pasti rame dan desak-desakan, ya.."

Kali ini aku tertawa mendengar gumaman Tristan yang lebih mirip ditujukan kepada dirinya sendiri.

"Ya nggak desak-desakan juga kali, Tan. Udah, tenang aja. Toh mau rame apa sepi juga di sana tetep jalan kaki. Mau sekalian olahraga, kan, tadi katanya?"

"Iya, sih.."

Aku menahan tawa yang kali ini sengaja memang sengaja kulakukan saat mendengar respon Tristan. Beberapa kali jalan berdua, membuatku sedikit banyak memahami bahwa sebenarnya Tristan bukan tipe orang yang bisa nyaman berada di keramaian. Tapi salah siapa yang mengajak ke Taman Sari pada hari Sabtu, coba?

"Janjian terusssssss, pepet aja terussssssss mas-nya."

Suara sindiran Reno langsung memekakkan telinga begitu aku menutup sambungan telepon dari Tristan barusan.

"Dia nggak mau desak-desakan sama orang, mungkin maunya desak-desakan sama kamu aja, kali, Nan."

Aku memilih sok sibuk dengan komputer di depanku, daripada menanggapi godaan maha receh dari laki-laki di sebelahku ini.

"Berangkat habis Subuh aja, Nan. Pasti masih sepi banget, tuh."

Reno masih belum menyerah.

"Edit artikel kolom olahraga bisa, nih, kayaknya.." aku hanya berkomentar singkat tanpa benar-benar mengalihkan pandanganku dari layar di depanku.

"Bisa, sih, memang. Tapi kalo bisa nanti, kenapa harus sekarang? Enakan juga santai-santai gosip dulu."

Sial, kali ini aku bahkan sudah hampir tertawa mendengar godaan dari Reno.

SementaraWhere stories live. Discover now