Bima melepas masker dan topi steril yang ia pakai. Ia bernafas lega seraya menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk melemaskan leher. Ia tersenyum dan menerima jabat tangan serta pelukan dari rekan tim dokter yang baru saja selesai berjuang.
Operasi Vania Rahma berhasil.
Bima, selaku kepala tim dokter yang menangani kasus Vania, membawa orang tua Vania keruangannya untuk memberikan penjelasan terkait kondisi kesehatan pasca operasi serta perkembangan kasus Hidrocephalus yang dialami gadis delapan tahun itu.
Usai menjelaskan seluruh informasi kepada orang tua pasien, Bima mempersilahkan pasangan wali pasien itu untuk kembali menemani anaknya. Bima sendiri, bersiap untuk pergi ke ruang Komite Medik untuk melaporkan hasil operasi besar siang ini.
"Alhamdulillah...!!! Gak sia-sia observasi ulang pasien selama empat hari sebelum operasi," ucap salah seorang tim kala menemani Bima melakukan laporan hasil operasi besar pada Komite Medik.
Satu jam setelah pertemuan evaluasi bersama tim dokter dan Komite Medik, Bima berjalan kembali menuju ruangannya. Saat ini sudah hampir pukul enam sore. Bima mengintip senja yang menguarkan kemilau indah, membuatnya melengkungkan senyum manis dengan tatapan teduh. Bima, selalu menyukai senja. Tubuh lelahnya ia rebahkan di kursi kerja.
"Mari pulang, marilah pulang, marilah pulang, ke pelaminan." Ia bersenandung sendiri seraya terkikik geli saat tanganya terulur mengambil ponsel yang ia charge sedari tadi.
Aku rindu si galak itu, batinnya saat membuka lockscreen.
Keningnya berkerut kala mendapati notifikasi puluhan missed call dari Luna. Ia men-dial nomor adiknya lalu pada nada sambung pertama, suara Luna sudah terdengar ditelinganya.
"Mas, Amanda kayaknya kena bully lagi di sekolah. Kata Bryan, pulang-pulang tadi dia menangis dan sekarang mengurung diri dikamar."
Bima menghela nafas, "Sudah kamu tawari jajan es krim atau martabak manis?"
"Sudah, gak ada tanggapan. Mas cepet pulang ya! Dari tadi siang belum makan anaknya."
"Tapi Mas ada janji antar seseorang pulang, kamu bisa kan, Lun, handle Amanda dulu," pinta Bima.
"Mas, dia anak pertama kamu! Adik-adiknya bahkan belum makan sejak siang karena dia tidak masak. Aku juga baru sampe rumah ini, dan dapat laporan dari Chintya kalau kakaknya nangis-nangis dikamar!"
"Ketuk saja pintunya, mungkin karena dia lapar jadi dibuka. Mas mau antar seorang wanita!"
"Mas! siapapun wanita itu, dia pasti sudah bisa pulang sendiri tanpa kamu antar! Sedang anak-anak kamu sekarang tengah kelaparan! Cepat pulang dan bawakan kami makanan! Aku mau mandikan Gio dan Faisal dulu. Delisha dan Erlangga bahkan masih memakai seragam sekolah mereka!"
Bima menghela nafas lagi ketika sambungan telepon diputus sepihak oleh Luna. Amanda, anak gadisnya yang seharusnya menikmati indahnya masa remaja, harus rela menjadi rendah diri karena wajahnya yang penuh jerawat dan tubuhnya yang kelebihan lemak. Memang sulit merubah stigma yang ada dipikiran anak SMA, bahwa cantik tidak harus terpusat pada fisik dan penampilan.
Bima membuka aplikasi chatting dan mengirim pesan pada Mitha. Namun hingga lima menit berselang, pesan itu belum juga terbaca. Bima membereskan meja dan melangkah keluar ruangan untuk pulang. Amanda, membutuhkan pertolongannya saat ini.
"Mbak, Pocky Matcha lima, Silverqueen Green Tea tujuh, KitKat Green Tea juga tujuh, lalu ...," Mata Bima menjelajah seluruh rak snack yang ada di minimarket rumah sakit, "Itu, Kokola Matcha cookies, Gery Salut Green tea, Matcha Astor, Allure Matcha, Sama Chocolatos Matcha juga. Masing-masing lima!" Pinta Bima pada sang pramuniaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pramitha's Make Up ( Sudah Terbit )
RomanceSudah terbit dan dihapur sebagian. Dapatkan versi cetak Pramitha's Make Up di Grassmedia Grup atau Lotus Publisher. Pramitha geram kala dirinya selalu diejek dan diragukan kemampuannya dalam bekerja oleh Dokter Pengganti di Rumah Sakitnya, hanya k...