18. Menjauh

51K 4.8K 63
                                    

"Selamat pagi, Bu Mitha," sapa pungki penuh hormat, "Ini beberapa berkas yang harus Ibu kaji dan tanda tangani." Pungki meletakkan 3 buah map di meja pramitha yang kini telah bertuliskan 'Direktur Utama'

"Biasa aja, sih, Pungki. Gak usah sok formal," tukas Pramitha santai.

"Kalau disini tuh, Pungki harus tau diri, Mbak. Kalo jam makan siang, baru kita jadi pren wit benepit."

Mitha menyernyit lalu melirik heran pada sekertarisnya, "With benefit?"

Pungki mengangguk. "Hooh. Mbak Mitha suka jajanin Pungki. Jadi tunjangan makan bisa Pungki cairin buat cicil ponsel baru," lanjutnya santai.

"Lalu benefit-nya buat gue?"

Pungki melirik Mitha persuasif. "Mbak butuh info apa soal gosip terbaru di rumah sakit ini? Pungki kasih sampe sedetil-detilnya. Pungki selalu update skandal apapun yang terjadi disetiap ruangan rumah sakit ini." Sekretaris itu bahkan bicara dengan nada berbisik layaknya seorang detektif. "Bahkan, Pungki tau banget kalo si Marimar, lagi deket sama Pak Pendi, supir ambulance itu, lho, dan Pungki sendiri pernah denger si Marimar manggil Pak Pendi pake julukan Pernando."

Mitha memutar bola matanya jengah. "Gak mutu, Pungki. Better lo bacain jadwal gue hari ini."

Pungki mengangguk lalu membacakan jadwal mitha untuk hari ini hingga dua hari kedepan. Mitha, yang sudah empat hari resmi menjabat sebagai pimpinan utama rumah sakit ini, mendengarkan dengan seksama seraya menyiapkan hati dan mentalnya untuk menghadapi segala kesibukan yang akan ia temui.

"Jadi, gue ada free di jam makan siang ?" tanya Mitha yang diangguki oleh Pungki. "Jangan lupa pesenan gue ya, Ki!"

"Yup!" Pungki pamit untuk kembali ke mejanya setelah menjawab pertanyaan boss barunya itu.

Mitha kembali memfokuskan pikirannya pada berkas-berkas yang harus ia kaji dan setujui. Sesekali keningnya menyernyit, mencoba memahami data yang tertera pada berkas itu. Empat hari pertama sebagai pimpinan tertinggi Golden Hospital Jakarta, membuatnya harus perlahan dalam memahami dan membuat keputusan. Ia tidak ingin membuat satu kesalahan dalam berkerja.

"Mitha!" Layar komputer Mitha menampilkan wajah Abangnya.

"Bang, Mitha agak gak paham sama salah satu klausa yang tertulis di surat permohonan yang dateng dari komite medik ..." Mitha mendongak lalu bicara pada Pradipta melalui video call.

Mitha dan Abangnya sepakat untuk saling membantu dalam memimpin rumah sakit milik kedua orangtua mereka. Pradipta, sejak kembali ke Golden Hospital Surabaya, selalu mengaktifkan video call antara dia dengan adiknya. Pria itu membantu dan membimbing Pramitha dalam menjalani tugasnya sebagai penerus kepemimpinan Golden Hospital.

Pramitha mendengarkan dengan serius arahan dan penjelasan sang abang yang sudah berpengalaman memimpin rumah sakit. Tak jarang juga, terjadi perdebatan diantara keduanya. Namun, mereka selalu mampu mencetuskan solusi yang tak merugikan satu pihak.

"Yasudah. Abang mau makan siang dulu, ya! Coba kamu cek laporan kepala gudang yang bilang ada beberapa obat yang terdata hilang. Kita harus cari solusi untuk mengurangi resiko adanya kecurangan dari staff apotik atau gudang."

Mitha mengangguk, "Iya. Sore ini Mitha langsung sidak ke gudang farmasi." jawabnya sebelum menutup video call mereka.

Pintu terketuk dan Pungki masuk membawa satu buket bunga lily. "Ini pesanan Bu Mitha," ucapnya seraya menyodorkan bunga berwarna putih itu.

Mitha tersenyum dan berterimakasih pada Pungki. Ia pamit pada teman gosip yang kini menjadi sekretarisnya itu dan memintanya untuk pergi ke kantin duluan. Putri Hermawan Sutanto ini, harus bertemu dan bicara sejenak dengan papanya yang masih menjadi penghuni kamar inap VVIP. Kegiatan ini sudah menjadi rutinitas baru Mitha sejak Hermawan terserang penyakit stroke.

Pramitha's Make Up ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang