17. Tiba Saatnya

50.9K 5.1K 51
                                    

Mitha terengah mengatur nafasnya. Ia bahkan tidak memperdulikan roll yang masih melekat di rambutnya. Ia mengusap peluh yang membasahi dahinya seraya melirik Liliana Sutanto, Mamanya.

"Sudah, Ma, Tenang. Papa lagi ditangani Dokter Eko." Ia berjalan mendekati wanita paruh bawa itu lantas merangkul bahu dan mengusap lengannya pelan. "Papa pasti baik-baik saja. Mitha percaya itu."

"Harusnya tadi Mama gak usah turutin Papa kamu! Harusnya tadi Mama dikamar aja bantuin Papa kamu kancing bajunya. Mama gak kuat, Mith, inget-inget pagi tadi Papa kamu tiba-tiba tergeletak dilantai dan badannya gak bisa gerak."

"Yaudah, gak usah diinget! Tunggu laporan Dokter Eko saja."

Mitha sudah tidak peduli dengan penampilannya yang sudah berantakan. Mendapat teriakan Mamanya pagi tadi saat ia tengah bersiap di depan cermin, membuatnya meninggalkan kamar tanpa ingat penampilannya. Ditambah, Ia mendapati Papanya yang tergeletak di lantai dengan tubuh yang sulit digerakan. Kalut dan takut membuat mereka tak lagi memikirkan apapun. Mereka bergegas memanggil ambulance dan melarikan Hermawan ke Golden Hospital.

"Tolong gantiin Papa ya, Mith, Please." Liliana memandang putrinya penuh permohonan. "Sebentar saja, sampai Pradipta datang kemari."

"Abang mau kesini?" Mitha terkejut mendengar informasi dari Mamanya.

Liliana Mengangguk, "Pas Mama masuk kamar dan lihat Papa kamu gak bisa gerak itu, Mama lagi telepon Dipta. Dia denger Mama teriak-teriak minta tolong terus pas tadi di Ambulance ada pesan masuk dari Diandra, katanya Pradipta mau terbang kesini siang nanti."

Mitha menghela nafas seraya mengangguk, "Iya. Nanti biar Mitha diskusi sama Abang soal rumah sakit."

Liliana dan Mitha mendadak lesu mendengar penuturan Dokter Eko tentang Hermawan yang positif terserang struk. Liliana bahkan histeris mendengar suaminya harus dirawat intensif dan Mitha hanya diam berusaha menenangkan dirinya.

"Kamu tau kan, Mith, Hipertensi itu berpotensi jadi struk?"

Mitha mengangguk lemah didepan Abangnya yang baru saja sampai di Golden hospital.

"Kamu tau juga kan, kalau Hermawan Sutanto itu punya sifat tidak sabar?" Kembali Pradipta mengajukan pertanyaan pada adiknya dan diangguki Mitha. "Lalu kenapa kamu terus meminta Papa bersabar dan membiarkannya terus bekerja keras?" lanjut Direktur Golden Hospital Surabaya itu.

Mata Mitha memanas. Ia mengerjap menatap Abangnya. Ada rasa bersalah yang bercokol dihatinya. Apa iya Papanya begini karena dirinya yang selalu menolak permintaan sang papa dan membiarkan pria tua itu bekerja sendiri? Bulir bening mulai berjatuhan dari mata Pramitha dengan isak yang mulai terdengar. "Mitha belum siap, Bang," akunya, "Duduk dikursi Direktur itu berat buat Mitha," lanjutnya lirih.

"Dimana beratnya? Kamu sudah berkarir disini lama. Delapan tahun, Mitha. Sejak kamu resmi menyandang Sarjana Ekonomi sampai sekarang. Apa yang membuat tanggung jawab itu terasa berat?"

Mitha memandang Abangnya sendu. "Mitha takut," cicitnya lemah.

"Apa yang kamu takutkan?" Pradipta mendekati adiknya yang duduk di sofa ruang kerja milik Papa mereka. Ia memegang kedua bahu Pramitha dan menatap mata adiknya tajam.

Tangis Pramitha pecah kala menatap netra tegas Abangnya. "Mitha sedang dekat dengan pria, Bang," adu Mitha terisak, "Mitha takut jika jabatan Mitha akan membuat dia mundur perlahan. Mitha belum pernah mendapatkan pria yang tulus mencintai Mitha apa adanya. Mitha takut dia juga sama, mundur karena jabatan Mitha dan kedudukan keluarga kita."

Pradipta mengerutkan kening. "Apa itu alasan rasional, Mitha?"

"Rasional atau tidak, yang jelas, itu yang saat ini Mitha rasa, Bang, takut! Satu sisi, Mitha takut melakukan kesalahan saat mengemban tanggung jawab itu. Sisi lain, Mitha takut pria itu semakin menjauhi Mitha karena merasa dirinya kurang pantas untuk Mitha."

Pramitha's Make Up ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang