1. Nyanyian di atas Rerumputan.

610 59 8
                                    

Mentari belum terbit, tapi hampir dari kami semua sudah terbangun dari nyenyaknya tidur semalam. Salah satu aturan yang ditetapkan ibu Panti untuk kami adalah bangun lebih awal untuk bersiap memulai hari.

Anak-anak lebih muda, bergantian untuk mandi dan berangkat sekolah. Sedangkan aku dam ibu sudah berkutat di dapur mempersiapkan sarapan dan bekal untuk yang lainnya.

Ibu masih memotong sayuran, dengan aku yang masih sibuk mengupas bawang merah untuk bumbu masakan ibu.

"Kalo Shasha kuliah di Jakarta, terus yang bantu ibu masak di Panti? Apa Shasha gak usah kuliah, terus cari kerja sekitar sini aja ya bu?" ucapku memecah keheningan.

"Mbiyen yo simbok ngolah opo-opo dewe'an ndok. Sudah, kamu sekolah saja yang benar. Gak usah pikir yang macam-macam."

Aku pun terdiam dan terus melanjutkan pekerjaanku, masih ada waktu sebulan lagi untukku menetap menikmati kebersamaan yang mungkin nantinya akan aku rindukan. Sudah hampir 18 tahun aku tinggal di sini, bersama beberapa anak yang sudah lalu lalng datang dan pergi meninggalkan kami yang tersisa menunggu orang-orang yang berniat menjadikan kami keluarga mereka.

Kecuali aku, gak ada satu pun keluarga yang berniat mengadopsi terutama karena umurku yang sudah terbilang tua untuk diadopsi. Meskipun begitu, aku gak pernah merasa kesepian. Selalu ada ibu dan adik-adikku di sini, begitu juga dengan Om Bagaskara. Anggaplah namanya begitu, karena aku pun gak benar-benar mengenal siapa dirinya.

Om Bagaskara, hanyalah seorang dermawan yang selalu memberikan hadiah untukku. Membiayai sekolahku, serta gak lupa dengan saku yang setiap bulan ia kirimkan beserta surat tentang kabarnya. Bukannya aku masa bodoh untuk tidak mencari tahu siapa sebenarnya om Bagaskara, tapi dalam suratnya ia pernah meminta untuk memanggilnya seperti itu tanpa perlu tahu siapa dirinya.

Aku menurut, toh gak ada yang bisa kulakukan saat itu. Berbeda dengan sekarang, bulan depan aku akan mulai berkuliah di Jakarta. Tempat semua surat-surat om Bagas berasal. Saat aku di sana nanti, aku akan mulai mencari keberadaannya, tentang siapa dirinya, dan mulai membalas setiap budi yang telah dilimpahkannya untukku. Semua rencana telah tersusun apik di kepala, hanya butuh waktu agar semuanya tercapai.

"Ndok, akhir minggu kita kedatangan tamu."

Aku terkejut, karena saat ibu memberi kabar ada tamu berarti akan ada sebuah keluarga datang untuk mengadopsi salah satu dari kami.

"Bukan untuk adopsi," lanjut ibu menjelaskan.

"Loh, siapa? Tumben sekali."

"Cah bagus kemarin itu loh, dia sama teman-temannya datang untuk donasi."

Aku ber-oh ria mendengar penjelasan ibu. Bagus jika ada donasi, berarti akan ada barang-barang baru untuk adik-adik tanpa kami perlu mengeluarkan uang.

"Berapa orang yang datang? Banyak?"

"Cuma berenam, perwakilan saja katanya," ucap ibu yang kini tengah mengaduk sayur yang hampir masak di panci. "beresin meja ndok, panggil Nia juga. Setelah kamu pergi ke Jakarta nanti, dia yang bantu-bantu ibu."

Aku menurut dan mulai mencari si tertua kedua setelahku. Nia, gadis kecil yang baru berumur 10 tahun itu kini mulai diajarkan macam-macam oleh ibu. Meski gak tega, aku pun juga gak bisa membiarkan ibu menyelesaikan semua tugas sendirian. Umur ibu yang hampir 50 tahun, membuat segalanya terkadang menjadi lebih sulit untuk dikerjakan sendirian.

"Nia, bantu mbak, yuk," pintaku sesaat menemukan Nia tengah menyisir rambut Danar yang kusut.

"Nggih mbak, abis kuncir rambut Danar nanti Nia ke dapur."

Another Daddy Long Legs - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang