12.2 Quest!

170 39 0
                                    

Suasana hatiku yang buruk enggan membawaku kembali ke apartemen. Aku terus berjalan tanpa berniat berhenti sedikitpun. Kaki yang mulai terasa mati rasa gak menghalau untukku terus berjalan membelah ibukota yang masih ramai. Langit senja mulai menghampiri, pertanda waktu telah berlalu menemani kesedihanku yang semakin terasa mengoyak hati.

Aku gak menangis, air mataku sama sekali gak bisa keluar. Namun di dalam hatiku rasa sesak terus memaksaku agar berteriak namun gak kulakukan yang semakin memperparah sesak di hatiku. Sejak tadi ponselku terus bergetar, entah sudah berapa banyak panggilan yang kuabaikan masih saja membuat terus berjalan tanpa tahu ke mana arah tujuan.

Tanganku mengepal erat.
Mulutku menggumamkan sesuatu.
Kepalaku terus memikirkan semua kemungkinan yang kuinginkan untuk terjadi.

Tapi semua hanya khayalan. Pantulan kaca toko memperjelas semuanya, aku dan kesendirianku adalah kenyataan yang akhirnya selalu kudapatkan.

Aku tersenyum menatap pantulan diriku di sana. Menyapa seorang gadis yang kesepian, terdiam lesu menatapku seakan menyatakan bahwa dia benar-benar lelah dengan apa yang terjadi dan memintaku untuk menyerah. Melepaskan semua keinginan yang makin tak tahu batasan, tanpa membandingkan pada diri bahwa aku gak pernah pantas untuk menuntut sesuatu.

Langit malam mulai menyapa, bunyi klakson bersaut-sautan tanda keberadaan ibukota yang masih hidup. Suara lantang nan riuh nyatanya gak mampu mengusik rasa hampa yang masih menyelimuti sukmaku.

Berjalan tanpa arah membuat kakiku sakit, meski sudah tersandung beberapa kali tapi aku masih enggan menepi. Membiarkan rasa sakit itu menjadi satu-satunya tanda bahwa aku gak mati rasa setelah apa yang terjadi hari ini. Rasanya berlebihan, terluka separah ini hanya karna satu ucapan. Meski sejak dulu kalimat pengusiran akan diriku terus bergema, nyatanya apa yang kudengar hari ini benar-benar hampir membunuh kewarasanku. Pikiranku terus berkecamuk, pada satu sisi memintaku untuk bertahan karena ini bukanlah kali pertama dan juga memintaku untuk berhenti dan menjadikan apa yang kudengar hari ini adalah akhir dari setiap penantianku.

Sampai tersadar kakiku membawaku kembali ke tempat yang sudah beberapa bulan ini gak kudatangi. Sebuah gedung yang kutinggali saat pertama kali datang ke Jakarta.

Aku masih ingat beberapa tempat yang terlihat dari kamarku masih belum berubah, juga tentang ingatan saat pertama kali mas Bian datang ke sini. Memilih untuk membuka gerbang yang masih berdiri kokoh di tempatnya, berjalan memasuki kawasan yang rasanya masih gak asing seperti terakhir kali kutinggalkan.

"Cari siapa?"

Aku terkejut saat seseorang menyapa, seseorang yang gak kuingat sebagai salah satu penghuni saat aku tinggal di sini dulu.

"Mas Zein," jawabku singkat.

"Bang Zein belum pulang, mau nunggu atau titip salam aja?"

"Nunggu aja." Ia gak mengatakan apapun lagi selain mempersilahkan duduk dan lekas meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Aku gak berniat menghubungi mas Zein, membiarkannya menemukanku di sini tanpa kukabari apa-apa. Setelah sekian lama pergi dan gak saling bertukar kabar, membuatku gak enak hati untuk meminta pertolongan. Hanya saja untuk saat ini, hanya dia yang bisa kumintai tolong.

Rasa lelah akan perjalanan panjang yang kulalui hari ini membawa rasa kantuk yang semakin mengajakku beristirahat sejenak bersandar pada sofa nyaman yang sedari tadi kusandari. Sudah berjam-jam mas Zein gak kunjung datang, membuat pria yang menemuiku tadi beberapa kali menawarkan diri untuk menjadi tempat penyampai pesan yang akhirnya berkali-kali pula kutolak kebaikannya.

Entah sampai pukul berapa aku bertahan, hingga akhirnya aku gak kuasa menahan kantuk dan mempersilahkan diriku untuk beristirahat sejenak.

Gemerisik percakapan seseorang membangunkanku, mencoba membuka mata yang masih enggan terbuka akibat cahaya lampu yang menyilaukan mata.

"Shasha?"

Aku menggumam menjawab panggilan dari suara yang kukenali. "Mas Zein?" tanyaku memastikan.

"Kenapa gak telpon? Kalo Raka gak cerewet telponin gue bisa-bisa lo nunggu sampe lusa tau gak?"

Aku hanya mengusap mata pelan berusaha untuk tidak menghiraukan ucapan mas Zein barusan. Rasa lelah masih menderaku, badanku gak sanggup bergerak sesuai perintah sehingga aku terus membiarkan diriku terus bersandar. Sekaligus memohon pada Tuhan untuk ikut membiarkanku beristirahat kali ini.

Mataku masih tertutup, namun enggan terlelap. Aku masih sadar saat membiarkan tubuhku diangkat mas Zein untuk dipindah ke sebuah kamar, meski telingaku sudah gak menangkap percakapan apapun. Setelah menutup pintu, suasana hening menjadi temanku. Bagai sebuah pemicu akan air mata yang kini telah memenuhi pelupuk mata. Aku mulai lelah menangis, lelah meminta pada Tuhan, juga lelah untuk berterimakasih padaNya.

Aku menangis semalaman, sampai rasanya sudah gak ada lagi yang tersisa. Kini malam telah berganti dengan sebuah cahaya yang perlahan menyinari dunia. Mataku akhirnya terbuka, membiarkanku melihat indahnya matahari terbit yang sedikit memberiku semangat untuk menyambut hari ini. Setelah mandi dan memakai kembali pakaian yang kukenakan semalam, aku mulai mengambil napas perlahan untuk mempersiapkan diri atas pertanyaan yang mungkin terlontar dari mulut mas Zein dan saat sudah siap aku mulai melangkah ke luar kamar yang kutiduri semalam.

Aku berusaha tersenyum saat melihat mas Zein yang kini menyapaku dari seberang dapur, sampai akhirnya aku tersadar bahwa ada orang lain yang telah menungguku di sisi lain ruangan.

Kantung matanya yang hitam menjelaskan bahwa semalaman dia gak tidur sepertiku. Tubuhnya terlihat lelah bersandar pada sofa yang juga semalam kusandari saat melepas lelah. Aku seperti melihat diriku yang lain tengah terlelap.

Aku menatap mas Zein sejenak mencari penjelasan. Ia hanya tersenyum seraya menepuk bahuku pelan, "gak sengaja jawab telpon lo, berisik banget dari semalem." Kemudian pergi lagi setelah memberi kuminta. Aku gak mengeluh, semua yang kulihat saat ini menghancurkan tekad yang sudah kokoh kubuat sejak pergi meninggalkan rumahnya kemarin.

Keberadaannya yang hanya beberapa saat dalam hidupku benar-benar mampu memberi pengaruh sebesar ini dalam hidupku membuatku tersadar sejauh apapun aku berlari, aku tahu bahwa mas Bian selalu bisa menggapaiku kembali. Aku hanya diam berjalan mendekatinya, menatapnya lamat-lamat sebelum aku beranjak ke dapur untuk membantu mas Zein. Berikut dengan hutang penjelasan yang harus kujelaskan padanya.

Mas Zein yang masih sibuk membuka bungkusan menyadari keberadaanku. Wajahnya menoleh menghadapku, kembali memberikan ketenangan yang akhir-akhir ini kurindukan.

"Mas..."

"Gak usah cerita gak pa-pa, tapi lo harus ingat kalo lo selalu punya tempat di sini, Sha." Mas Zein menjeda kalimatnya cukup lama, aku masih bersiap mendengarkan seraya membuka bungkusan sarapan yang dibeli mas Zein pagi ini, "lain kali, kalo mau main harus izin dulu sama yang di sana ya?" ucapnya lagi.

Aku hanya bisa mengangguk, tanpa membantah ucapan mas Zein. Kembali membiarkan diriku terombang-ambing pada ketidakpastian lagi. Kembali berusaha bertahan pada dunia yang gak menginginkanku, bertahan demi mas Bian yang kini telah membuka matanya lalu menatapku lamat-lamat.

Another Daddy Long Legs - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang