7.2 Sentimental Words.

203 48 0
                                    

Kami masih dalam posisi yang sama, mempersiapkan diri untuk berbagi informasi serta kembali memikirkan apa yang harus dilakukan. Bian maupun Juan masih dia ditempatnya, menunggu salah satu dari kami memulai pembicaraan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi barusan. Akhirnya Dito menjelaskan apa yang terjadi setelah sepeninggalan Juan kemarin. Tentang bagaimana Dito mulai mendekatkan diri pada Shasha, juga tentang keikutsertaan kami saat mereka berdua tengah makan siang tadi hingga situasi yang menyebabkan kami berada di kosan Shasha saat itu.

Bian maupun Juan terus menyimak tanpa memotong perkataan Dito sedikit pun, gue dan Zul sama-sama menambahkan sedikit untuk memperjelas dan menghindari kesalahpahaman yang mungkin aja terjadi.

"So, akhirnya gimana?" tanya Juan masih gak mengerti apa yang terjadi.

"Gue gak tahu apa om Bagas ini adalah om Bastian, ayahnya Bian," jelas gue singkat.

Mata kami saling bertemu satu sama lain. Saling melempar kode segera menimpali percakapan kami yang masih saja gak memiliki pencerahan.

"Semua bantuan yang dia dapet tuh dari bokap gue, gue baru tau saat pengacara ke rumah buat nyampein wasiat bokap. Dan tertera nama Shasha sebagai seseorang yang harus kami bantu sampai dia benar-benar bisa mandiri dengan hidupnya."

Penjelasan Bian barusan semakin memperkeruh suasana di sini, Dito kelihatan gak berani berpendapat karena ia menyadari bahwa masalah ini cukup serius untuknya. Zul dan Juan terlihat diam berpikir apa yang harus dilakukannya sama sepertiku.

"Jadi Bagaskara itu kemungkinan bokap lo?" Bian mengangguk membuat Zul berhenti bertanya.

"Mungkin anak kenalannya, Yan." Juan mencoba menangkan meski kelihatannya gak berhasil karena kini Bian telah menunjukkan sebuah foto keluarga.

Ada seseorang yang kami kenali dalam foto tersebut, seseorang yang mirip dengan om Bastian selagi muda tengah merangkul seorang wanita yang tengah menggendong bayi perempuan mirip Bian. Foto seseorang yang kulihat di album saat datang ke panti beberapa bulan lalu. Seseorang yang gue yakin benar bahwa itu adalah Shasha.

"Ini gue temuin di apartemen, di dalam sebuah tas yang juga berisi surat-surat dari Shasha," jelas Bian lagi.

Gue diam gak menimpali, juga gak menyampaikan informasi bahwa salah satu orang tersebut adalah Shasha. Sesuatu yang seharusnya gak gue lakukan, karena sikap pengecut yang gue punya. Prilaku yang gue tunjukkan karena gak ingin lagi melihat Bian seperti beberapa hari lalu, kacau, dan gak terarah. Seperti bukan Bian yang gue kenal sebelumnya.

"Lo yakin ini bokap lo?" tanya Zul heran. "Mirip, tapi gue rasa bukan," lanjutnya lagi.

"Bokap gak punya saudara, Zul."

Kami semua mendengus berat, terus memikirkan semua kemungkinan untuk gak berpikir bahwa om Bastian benar-benar melakukan hal yang gak kami sangka.

"Lo udah coba tanya nyokab?" tanya gue akhirnya.

"Gimana caranya? Setiap gue ajak ngomong dia udah pergi duluan, Ga."

"Shasha juga gak punya info apa-apa soal ini, bang. Lihat kan tadi dia sampe histeris pas kita kasih tau."

Gue dan Zul sama-sama mengiakan perkataan Dito, dilihat bagaimanapun kondisi Shasha pun sama buruknya. Membuat gue enggan untuk berprasangka buruk padanya.

"Bisa aja cuma akal-akalan dia," sahut Juan gak membantu.

"Shasha gak gitu kok, bang. Jangan nuduh dia aneh-aneh."

"Kok lo belain dia sih, Dit?"

"Gak gitu, gue cuma..."

Zul melerai Juan dan Dito, mencoba menenangkan Dito agar gak perlu ikut terpancing. Membuatnya mengerti bahwa apapun yang terjadi saat ini, Bian yang harus memutuskan segalanya. Sebuah keadaan yang sama sekali gak pernah dibayangkannya. Matanya mulai menatap gue kosong, terlihat sekuat apa Bian mencoba berlari, ia akan selalu dihadapkan kembali pada Shasha.

Bian merebahkan tubuhnya menempel pada sofa, matanya hanya menatap lurus ke arah langit-langit dengan bibir terus menggumamkan sesuatu. Dito memilih meninggalkan kami dan berjalan ke arah keluar, disusul Zul yang khawatir bahwa Dito masih kesal atas perdebatan kami tadi. Gue dan Juan cuma saling memandang, menerawang satu sama lain untuk menyampaikan pertanyaan yang kembali menumpuk minta dibebaskan.

"Hhhhh..." Erangan Bian memecah kebisuan kami. "Gue kudu gimana?"

"Gak bisa lo terima aja? Shasa juga gak punya siapa-siapa kan?" usul gue, Juan terlihat terkejut mendengar ucapan gue. Sedangkan gue cuma bisa membalasnya dengan tatapan putus asa, apapun solusinya gak akan ada yang benar-benar bisa menyenangkan kedua belah pihak.

Bian dan Shasha pun akan sama-sama terluka, sebuah kebenaran gak pernah diatur untuk membahagiakan seseorang melainkan hanya menjernihkan suatu permasalahan. Hal yang terkadang membuat orang memilih untuk berbohong karena kebaikan, sesuatu yang gak gue pahami kegunaannya selain menenangkan hati untuk sementara.

"Gitu?"

"Gue rasa begitu, Yan. Pasti ada alasannya kenapa bokap lo masukin nama Shasha dalam wasiatnya," timpa Juan setuju.

"Gue gak tahu," cicit Bian putus asa.

"Lo tidur dulu deh, muka lo makin berantakan. Cukur jangan lupa, besok kudu ke kampus."

Bian mengiakan dan mulai menuruti perkataan gue. Dia meminta izin untuk menginap dan mulai berbaring di kamar Juan, meninggalkan gue dan Juan yang masih terdiam di tempat kami tadi.

"Ah, gue pusing."

Mau gak mau gue cuma ikut tersenyum, gak menyangka bahwa akan ada badai sebesar ini menerjang kami. Meski gak secara langsung menimpa gue, Juan, Zul ataupun Dito. Pertemanan yang terjalin di antara kami, membuat semuanya merasa gak masalah turut ikut membantu memikirkan jalan keluar. Karena gue yakin, semua orang pun akan melakukan hal yang sama saat gue atau yang lainnya dalam masalah.

_______________

Mian, pendek :(
Semoga tetep bisa enjoy bacanya...

Another Daddy Long Legs - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang