4. Simpul Figure Eight.

257 53 2
                                    

"Yan, lo udah kelewatan!"

Gue terkejut saat Juan meluapkan amarahnya sesaat kami sampai di apartemen. Gue hanya bisa terduduk memandangi Bian yang masih terdiam menatap ke luar jendela.

"Gak harusnya lo bertindak tanpa alasan kayak gitu, gue tau lo muak tapi dengan cara lo kayak gitu bikin semuanya makin rumit."

Apapun yang dikatakan Juan sama sekali gak mengalihkan perhatian Bian dari langit siang yang nampak jelas dari apartemennya.

Gue masih aja terus terdiam gak mampu berkata apapun, rasa kantuk serta lelah yang mendera tubuh membuat gue semakin kesulitan berpikir apa yang harus gue lakukan saat ini. Sudah semalaman ini gue terus menggunakan otak hanya untuk memecahkan situasi yang makin rumit antara Bian dan Shasha. Dan setelah apa yang terjadi pagi ini justru makin diperburuk dengan tingkah Bian yang sangat tidak kooperatif untuk menyelesaikan masalah. Zul akhirnya datang membawa semangkuk bubur yang dibeli Dito untuk Bian, memecah kesunyian yang mendera atas kebisuan Bian sejak tadi.

Zul gak lelah meminta Bian untuk memakan makanannya sebelum meminum obat yang diberikan dokter saat kami meninggalkan rumah sakit pagi ini. Meski sudah didesak berkali-kali Bian masih bergeming makin memicu kemarahan Juan yang kini terus mengucapkan sumpah serapah seraya meninggalkan apartemen.

"Zul, lo sama Dito tidur gih. Terutama lo Dit, besok hari pertama kuliah. Sorry bikin lo begadang bareng gue," ucap gue berusaha menetralkan suasana.

"Lo aja bang sama Dito yang tidur, gue jagain bang Iyan. Gue juga ada kerjaan, jadi sekalian aja."

Setelah melihat Zul yang mulai mengeluarkan laptopnya, membuat gue maupun Dito, sama-sama gak menolak. Kami benar-benar lelah karena gak tidur sama sekali sejak semalam, rasa khawatir yang gue rasakan semalam lebih besar dari rasa kantuk yang gue rasain. Melihat Bian yang gak sadarkan diri karena terlalu kelelahan terus membuat gue memaki diri sendiri atas ketidakbecusan gue menjaganya.

Gue tidur di kamar lain yang lebih manusiawi. Bukan karena kamar ini dibersihkan pemiliknya secara teratur, melainkan karena sang pemilik yang gak punya waktu buat mengotorinya. Gue memilih mandi sebelum berusaha tidur, mencari-cari handuk bersih yang mungkin saja bisa ditemukan di apartemen yang hampir mirip sebuah gudang dibandingkan tempat tinggal.

"Bang," panggil Dito pelan. Gue gak menjawab panggilannya karena terlalu lelah, membiarkan Dito melanjutkan apa yang ingin ia katakan tanpa perlu kuberi aba-aba.

"Sebenernya ada apa?" tanya Dito ragu, gue mendengus keras, gak ingin menjawab apapun karena gue pun merasa masih gak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Bang Iyan kenapa, bang?"

Tangan gue akhirnya berhenti mencari barang yang gue perlukan. Mengusap kepala gue keras mencoba menghilangkan sedikit rasa penat yang terus hinggap gak mau pergi. "Bisa diam dulu, Dit? Pertanyaan lo bikin gue pusing," ucap gue menghentikan pertanyaan Dito yang terus datang.

Dito terdiam sejenak, gak menjawab seperti yang gue minta. Sedikit memberi kelegaan karena gue gak harus menjelaskan hal serumit ini padanya, sampai terdengar suara keras yang berasal dari arah pintu. Gue yang terkejut lantas keluar dari kamar mandi dan memilih mencari tau apa yang sedang terjadi.

Gue gak menemukan siapaun di kamar, memikirkan sebuah kemungkinan bahwa Dito tengah berada di ruang tengah melihat keadaan Bian yang masih belum stabil. Meski akhirnya gue tersadar bahwa Zul pun sama terkejutnya kayak gue.

"Bian kenapa?" tanya gue cepat saat melihat wajah gelisah milik Zulka.

"Dito yang kenapa? Dia keluar sambil banting pintu," sergah Zulka cepat.

Aku mengumpat dalam hati, permasalahan Bian sudah cukup membuatku sakit kepala. Setelah itu persoalan Juan yang pergi dengan penuh amarah dan kini gak gue ketahui keberadaannya sudah cukup menambah hal-hal yang harus dipikirkan oleh isi kepala gue, dan sekarang harus ditambah dengan Dito yang pergi tanpa pamit bukan seperti kebiasaannya.

"Gue gak tau, tadi dia cuma nanya," jawab gue singkat menjawab pertanyaan Zulka.

"Soal bang Iyan?"

"Iya."

"Terus kenapa dia marah-marah kayak gitu?"

"Gue nyuruh dia buat diem dan gak nanya apa-apa."

Zulka juga ikut terdiam, sesekali gue mendengar dengusan napasnya berat seperti yang gue lakukan saat ini untuk menenangkan diri. Cukup lama sampai gue berpikir untuk kembali ke kamar dan melanjutkan aktifitas yang tertunda tadi.

"Gue tau bang lo pusing, tapi apa menurut lo gue sama Dito, gak ngerasain hal yang sama?"

Gue terpaku mendengar ucapan Zulka. Suaranya pelan, dan stabil namun begitu dingin sampai gue bisa merasakan bahwa dia menyimpan begitu banyak rasa putus asa di dalamnya. Gue terus terdiam, mencoba memahami apa maksud yang ingin Zulka katakan, terus menunggunya untuk berbicara lebih banyak.

"Lo dan bang Juan tuh enak karena Bang Iyan pasti cerita ke kalian ada apa, tapi gue sama Dito? Gue diem aja bukan karena gak peduli, tapi gue mencoba untuk gak mencari tau langsung dari kalian. Terus Dito, gimana? Dia bukan gue yang bisa nyimpulin sesuatu cuma dari petunjuk-petunjuk kecil gak jelas, menurut lo udah berapa lama dia diam, bang? Saat rasa penasarannya udah memuncak, lo masih aja nyuruh dia diam karena lo lagi pusing. Salut gue."

Gue terkejut menemukan banyak hal yang ternyata gue lewatkan karena gue anggap semua akan mengerti tanpa harus dijelaskan. Gue gak menyangka Dito keluar karena omongan gue.

"Kenapa gak lo jelasin ke Dito?"

"Apa menurut lo Dito itu bodoh sampai dia gak nanya gue dulu sebelum nanya ke lo? Tentu aja dia udah nanya gue duluan, tapi apa lo yakin gue punya jawaban yang dia butuhin padahal kalian aja gak bilang apa-apa sama gue."

Zulka lalu diam tanpa bicara apapun lagi, meninggalkan banyak rasa bersalah di diri gue yang menganggap bahwa gue sendirian memikirkan segalanya. Semua rasa percaya diri gue hilang, membuat gue merasa gak bisa lagi memberikan kontribusi yang layak untuk orang-orang terdekat gue. Rasa kantuk gue kembali hilang, penat dan segala hal yang gue rasakan tadi mendadak tergantikan dengan perasaan hampa gak berarti.

Zulka kembali sibuk dengan pekerjaannya, Bian juga masih bertindak gak peduli dengan hidupnya. Membuat gue terus memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini. Hingga akhirnya Zul kembali diam, memposisikan duduknya tepat ke arah gue yang kini membuat kami saling bertatapan.

"Mau gue peluk, bang?"

Gue menatap jijik setelah mendengar penawaran Zul barusan.

"Yeilah, lo aja suka peluk-peluk Shasha. Masa dipeluk gue gak mau."

Zulka sukses membuat gue kembali terdiam, entah apa yang merasukinya hari ini sampai berkali-kali membuat gue terus membisu melawan kata-katanya. Meski gue tau semua kalimat yang dia katakan barusan hanya untuk memecah keheningan di antara kami, tapi nyatanya dia cukup membuat gue bertanya-tanya dalam hati.

Sebenarnya, apa yang Tuhan rencanakan untuk kami...

Another Daddy Long Legs - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang