3.2 Jembatan Dunia Shasha.

286 54 0
                                    

Sayup-sayup kudengar suara orang bercakap-cakap mengganggu istirahatku. Banyak kudengar suara yang berbeda-beda tanda ramainya orang di sekitar. Mataku kupaksakan terbuka, dan mulai menatap mereka yang tengah memandangku satu persatu.

"Bangun juga lo," sahut pria tinggi berkacamata.

"Udah bangun, Sha? Gue anter balik yuk."

Aku segera bangkit dari tidurku, tanpa tersadar kursiku bergoyang sehingga membuatku terjatuh tanpa ada peringatan. Menimbulkan suara gaduh memicu perhatian banyak orang yang kini kusadari ternyata aku masih ada di ruang unit gawat darurat. Tanpa ada mas Bian di brangkar yang kusandari.

"Mas Bian, gimana?" tanyaku cepat.

"Mau apa lo tanya-tanya?" sahut pria berkacamata lagi gak suka.

Aku hanya menatap bingung pada orang-orang di sekitar. Ada Empat orang, dan salah satunya adalah mas Rega dan bang Zul yang ternyata masih kuingat namanya.

"Ayo gue anter balik," tawar salah satu dari mereka. Bukan mas Rega ataupun bang Zul, namun juga bukan si pria berkacamata.

"Tas saya gimana, mas?"

"Saya belum bisa balik ke apart Bian, kamu pulang dulu saja. Nanti kita kabarin lagi ya."

Aku mengangguk atas penjelasan mas Rega, gak memikirkan apapun lagi. Menganggap mungkin semua orang sedang khawatir atas apa yang terjadi pada mas Bian. Memilih mengikuti pria yang mengatakan ingin mengantarku pulang. Kepalaku juga masih pusing karena mendadak terbangun begitu saja dari tidurku.

"Kok lo bisa ke apart bang Bian?"

"Saya gak tahu kalo itu alamat mas Bian, mas...?"

"Dito, kita seumuran kok. Panggil nama aja, kuliah Gajayana juga kan?"

Aku akhirnya tersadar, semua sel-sel dalam otak yang akhirnya bangkit mulai memproses semua kalimat yang baru saja dilontarkannya. Hingga pada satu kesimpulan, kini sebuah perasaan was-was mendadak menyelimutiku. Dari apa yang kuingat mereka hanya sekadar mengenal namaku saat di Panti. Gak pernah sama sekali kuceritakan tentang apapun mengenai pendidikanku di Jakarta. Semua pesan-pesan ibu kembali teringat mengenai untuk tidak terlalu percaya pada orang asing, aku terdiam sebentar dan gak lagi mengikuti langkah Dito yang mulai menjauh.

"Kenapa?" tanyanya, mendapatiku terdiam cukup jauh darinya.

Dito mulai beranjak dari tempatnya, tangannya berusaha menggapai tubuhku, berupaya menarikku lekas mengikuti langkahnya. Semua kemungkinan-kemungkinan terburuk terus melintas di kepala, semua peristiwa-peristiwa yang muncul di berita mendadak membuatku semakin takut untuk tetap diam terbawa arahan pria yang terus menyeretku ke arah parkiran.

"Gak usah, saya pulang sendiri aja."

Aku terus berlari, meninggalkan Dito yang masih meneriakkan namaku berulang kali. Gak memedulikannya sama sekali, terus berlari mendatangi tukang ojek dan memintanya mengantarku pulang ke rumah. Masa bodoh dengan tasku, itu dipikirkan nanti saja untuk sekarang cepat pulang adalah keputusan yang terbaik.

Perasaan lega menyeruak saat roda motor yang kunaiki terus berputar menjauhi rumah sakit. Pemikiran-pemikiran buruk mulai menghilang terus membuatku bernapas dengan lega. Meski semilir angin malam mulai mengeringkan keringatku yang tertumpuk karena berlarian menghindari Dito mulai menimbulkan hawa dingin yang semakin menjadi merasuk ke dalam tulang. Aku masih terus mengucap syukur dalam hatiku, karena aku masih diberikan kesempatan untuk pulang ke kosan hari ini.

Gak lama aku pun sampai, karena tas yang tertinggal aku pun meminta tukang ojek menunggu sebentar untuk mengambil uang. Langkah kakiku cepat memasuki ruangan, terus berjalan menuju kamar mas Zein dan mengetuk pintunya tanpa henti.

Another Daddy Long Legs - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang