12.1 Quest!

194 39 0
                                    

Baru beberapa hari aku tinggal di sini sendirian, rasa gak nyaman mulai menghinggapi. Perasaan asing pada suasana yang baru mulai akrab acap kali membuatku terbangun saat tidur di malam hari.

Kini aku semakin rindu hari-hari saat di panti dulu.

Aku selalu punya ibu yang menenangkanku jika gak bisa tidur akan suatu hal. Aku juga punya adik-adikku yang membuat suasana lebih hangat meski hanya kupandangi diam-diam saat mereka tidur. Perasaan ingin kembali ke sana yang beberapa kali hinggap cukup membuatku telah mengemas isi tas, memudahkanku untuk langsung pergi dengan mudah saat aku yakin akan melakukannya. Meski, janji yang kubuat untuk gak pergi kemana-mana pada mas Bian selalu menahanku untuk terus tetap tinggal di sini.

Sepeninggalnya sampai kini mas Bian gak pernah datang kembali. Isi pesanku pun terus diabaikannya selain tentang menanyakan kabarku membuat perasaanku semakin gusar. Sekarang pun sulit menemukan mas Bian di kampus, ia hanya datang saat ada mata kuliah penting. Selebihnya hanya titip absen pada teman-temannya. Bertanya pada mas Rega pun sama nihilnya, ia hanya terus menggelengkan kepala dan terus memintaku untuk terus percaya pada mas Bian. Membuatku menyerah untuk bertanya lebih banyak lagi padanya.

Bang Juan dan juga bang Zul memilih menghindariku tanpa alasan, memancing imajinasi dalam benakku bahwa mungkin saja telah terjadi sesuatu. Bayangan-bayangan buruk semakin memperburuk ketenangan hatiku. Memaksaku untuk lebih percaya pada diri sendiri, dan mulai gak bergantung pada siapapun. Berpikir pada kemungkinan terburuk bahwa pada akhirnya aku akan sendirian lagi.

Hanya saja kehadiran Dito terus-menerus membuatku ragu atas arti diriku di sekitar mereka. Meski, dia sudah gak pernah menginap. Dito masih terus datang untuk sarapan, dan berangkat kuliah bersama. Menemani di waktu senggang selama di kampus berikut dengan mengantarku pulang dengan selamat. Gak ada yang berubah darinya, selain menghindari pembicaraan tentang mas Bian. Entah apa kehadirannya benar-benar membantuku atau tidak tapi yang jelas aku bersyukur bahwa Dito gak beranjak dari tempatnya.

Ujian akhir semester sebentar lagi akan datang, kuputuskan untuk gak memikirkan apapun dan konsentrasi pada kuliahku. Mengingat lagi alasan utama aku datang ke sini, dan membiarkanku tenggelam dalam tumpukkan buku-buku. Sejenak melupakan semua orang yang kini hanya membuatku gelisah gak menentu.

Meski getaran ponsel terus mengganggu, gak lantas memaksaku untuk meninggalkan apa yang tengah kukerjakan saat ini sampai suara tergopoh-gopoh mendekatiku. Dapat kulihat bulir-bulir keringat mengalir di pelipisnya, mataku terus tergerak meneliti wajah gusar yang nampak di balik kacamatanya tepat di hadapanku. Mencari kemungkinan-kemungkinan penyebab dari apa yang tengah di lakukannya kini.

Membuat dirinya menjadi pusat perhatian di perpustakaan yang hening pada sore hari ini.

"Ikut gue!" Tangannya lekas menarikku gak memberikan waktu untuk bertanya apa yang terjadi.

Segera kubereskan perlengkapanku guna menyelaraskan langkahnya yang lebar entah menuju ke mana. "Mau kemana sih, bang?" tanyaku akhirnya gak sabar karena kini aku telah berada di atas sepeda motor bang Juan.

Dia gak menjawab, memilih fokus mengendarai sepeda motornya dengan laju cepat. Aku sedikit takut, bang Juan adalah orang yang paling tidak akrab denganku. Bayang-bayang pertama kali bertemu kerap menghantui ketika aku melihat wajah serius bang Juan seperti saat ini. Meski telah sering bercengkrama dengannya, perasaan itu gak kunjung hilang. Walau aku tahu jelas bahwa bang Juan pun adalah orang baik seperti yang lainnya.

Mencengkram kuat jaket tipis abu-abu yang sering ia kenakan. Suasana ibukota yang mulai ramai gak jadi penghalang bang Juan untuk merendahkan kecepatan laju motor yang saat ini telah membawaku ke tempat yang sejak tadi terus kupertanyakan dalam benakku.

"Ayo!" ajak bang Juan lagi, aku terdiam sejenak sampai membuatnya kembali menarikku lekas masuk.

Masuk ke dalam rumah besar bergaya minimalis namun tetap terlihat elegan di waktu yang bersamaan. Kupercayakan diriku pada arahan pria yang masih menggenggam erat tanganku. Memasuki sebuah ruangan di mana aku bisa melihat lukisan-lukisan yang memenuhi dinding ruangan.

"Tunggu sini, oke?"

Aku mengangguk atas perintahnya, membiarkan genggaman erat tangan bang Juan melepasku mengikuti langkah kakinya yang semakin samar makin gak terdengar keluar ruangan. Entah di mana ini, perasaan asing membuatku ingin lekas pergi dari sini. Detik jam dinding menjadi satu-satunya teman yang menemaniku di ruangan besar ini, sekaligus menjadi sebuah tekanan yang terasa menyesakkan atas rasa semakin lama waktu yang berlalu bagiku menunggu bang Juan kembali.

Suara riuh terdengar samar dari arah dalam, memancing rasa penasaran yang sejak tadi telah menggerogoti akal sehatku. Aku terdiam sejenak, menghalau rasa keingintahuan dan memilih menyibukkan diri untuk menghubungi bang Juan yang gak kunjung kembali. Entah sudah berapa lama aku mencoba namun panggilannya terus sibuk, membuatku ingin menyerah dan memilih mencari tahu sendiri apa yang sedang terjadi saat ini.

Membiarkan langkah kaki membawaku ke arah suara riuh yang semakin terdengar jelas. Bisa kudengar wanita yang meninggikan suaranya memperdebatkan sesuatu dengan seorang pria. Rasa penasaran yang semakin menjadi menghantarku tepat pada sebuah ruang keluarga di mana bisa kulihat jelas pemilik suara-suara yang kudengar sejak tadi.

Suara mas Bian yang tengah menenangkan amarah wanita yang kulihat tempo hari di apartemen kami. Wanita yang mas Bian panggil dengan sebutan Mama. Wajahnya penuh air mata, suara tangisannya yang kini mulai pecah semakin terdengar menyayat hati. Tanpa harus bertanya pun bisa kurasakan bahwa semuanya adalah karenaku. Karena kehadiranku yang gak pernah diinginkan oleh semua orang, tentu ada alasan kenapa aku akhirnya berakhir di panti asuhan. Dan saat ini kudapati alasannya dengan jelas, bahwa keberadaanku hanyalah menjadi pengganggu untuk orang lain. Menjadi sebuah penghalang kebahagiaan yang kini telah rusak karena ego yang kupunya.

Sebuah keinginan untuk bertemu dengan seseorang yang telah menjadi pelindungku selama ini.

Sebuah keputusan akhirnya terbentuk, terpaksa harus menyerah atas apa yang aku inginkan. Melepaskan sebuah angan atas impian-impian yang telah kurajut saat memutuskan untuk datang ke sini. Menyisakan perasaan kecewa dan sakit hati yang teramat dalam, meski begitu aku gak pernah menyesal. Karena keputusan itu, setidaknya aku tahu bahwa aku punya keluarga meski mereka sepenuhnya gak menerima kehadiranku.

Aku mengerti bahwa gak semudah itu untuk menerima kenyataan. Aku juga gak akan pernah bisa memaksa untuk menerimaku saat aku sadar bahwa mereka memang gak pernah ingin menerima kehadiranku sejak aku dilahirkan.

Dengan berat hati akhirnya aku berpaling, membuang semua kenangan manis yang kualami akhir-akhir ini. Walau hanya sebentar, aku tetap bahagia. Mensyukuri setiap hadiah yang Tuhan berikan, meski aku gak bisa menyimpannya selamanya.

Another Daddy Long Legs - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang