2. Bab Baru dalam Bagian Baru.

399 53 0
                                    

Waktu benar berlalu begitu cepat. Aku gak menyangka benar-benar akan pergi dari Panti dalam hitungan jam.

"Semua sudah beres, ndok?" tanya ibu setelah meminta izin masuk ke kamar.

"Sudah, nanti sebelum berangkat beberapa barang aku kirim pake jasa pengantar bu. Aku cuma bawa tas isi baju sama surat-surat aja."

"Yasudah, nanti kamu pergi ke alamat ini ya? Ini alamat temen ibu, kamu bisa tinggal di sini selama beberapa waktu. Lumayan deket juga dari sekolah."

Aku menatap ibu dengan perasaan membuncah, entah harus sampai mana lagi aku terus menyusahkan ibu. Aku memang sengaja datang ke Jakarta satu bulan lebih awal dari jadwal perkuliahan untuk mulai mencari keberadaan om Bagas tanpa sepengetahuan ibu. Dengan adanya tempat tinggal, semua jadi lebih mudah untukku. Aku lantas memeluk ibu, menyerukan kalimat syukur karena ibu telah memberikanku setiap kesempatan yang setara dengan anak-anak lainnya meski aku sedikit berbeda.

Mataku berlinang semakin gak kuasa untuk meninggalkan ibu bersama yang lainnya di sini. Ibu mengusap mataku pelan, memberikan nasihat-nasihat sebagai bekalku di Jakarta demi bisa hidup lebih baik lagi.

Aku berpamitan pada setiap sudut rumah, begitu pula dengan ranjang tua yang sudah kutiduri bersama yang lain beberapa tahun terakhir ini. Dan tak lupa memeluk satu persatu adik-adikku sebagai tanda pelepas rindu. Ibu gak mengantar atas permintaanku, meski jarak stasiun tidak terlalu jauh tapi akan sangat merepotkannya jika ibu ikut mengantar.

Bersama tas di punggung dan sebuah koper, kakiku melangkah mantap menaiki salah satu angkutan kota yang mengantarku menuju Stasiun. Ada banyak manusia berlalu lalang melakukan perkerjaannya masing-masing. Aku berlalu tanpa peduli terus melaju ke tempat penukaran tiket elektronik menjadi tiket fisik sebagai salah satu syarat agar aku bisa menaiki kereta.

Ini bukanlah pertama kalinya aku ke Jakarta, saat mengurus dokumen untuk kuliah kemarin ayah bersedia mengantarku beberapa kali. Namun sekarang, aku harus melakukannya sendiri. Ayah belum pulang selama dua pekan, aku gak mungkin menunggunya pulang hanya untuk memintanya mengantarku pergi ke Jakarta. Dengan berat hati, akhirnya ibu membiarkanku pergi sendiri. Lagipula keamanan di dalam kereta sudah meningkat. Ada petugas yang berlalu lalang di setiap beberapa waktu, membuatku merasa aman menggunakan transportasi ini dibanding yang lainnya.

Aku naik kereta ekonomi dari Stasiun Lempuyangan menuju Stasiun Pasarsenen. Waktu tempuh yang terlalu lama membuatku memilih melakukan perjalanan di malam hari. Memilih kursi yang kuinginkan melalui aplikasi dalam jaringan beberapa waktu lalu demi kenyamanan melakukan perjalanan. Setelah menemukan kursiku, aku mulai duduk dan menikmati perjalanan pertamaku sendirian.

Meski pada akhirnya, aku gak bisa tidur sama sekali. Entah karena terlalu bersemangat atau posisi sandaran kursinya yang terlalu tegak, aku sudah mencoba beberapa mengubah posisi tidurku tetap saja gak membuatku terlelap barang sedikit.  Atau mungkin juga karena pria di sebelahku yang tertidur sembari melebarkan kakinya. Membuatku semakin dalam posisi tidak nyaman selama beberapa jam ini.

Sebelumnya om Bagas sudah menawariku untuk pergi naik pesawat, tapi aku menolaknya. Entah sudah berapa banyak hal yang om Bagas lakukan untukku, aku gak mungkin membiarkannya melakukan hal-hal seperti itu hanya untuk aku yang bukan siapa-siapanya. Setelah menyakinkannya perihal transportasi pilihanku, akhirnya om Bagas setuju dan memintaku berhati-hati saat bepergian.

Dan tibalah aku kini di tempat berkumpulnya orang-orang hampir dari semua daerah di Indonesia. Aku takjub akan suasana Stasiun yang ramai meski saat ini masih waktunya orang-orang terlelap dalam tidurnya. Kalimat mengenai Jakarta gak pernah tidur ternyata benar adanya.

Aku memesan taksi dalam jaringan untuk memudahkanku sampai ke tujuan. Mau naik angkutan umum pun percuma karena aku masih belum hapal daerah ini. Aku yang terkantuk-kantuk serta berat koper yang sedari tadi kutarik menambah segelintir alasan-alasanku untuk tetap memesan taksi dalam jaringan.

Setelah mendapatkannya, aku hanya perlu menikmati waktu pagi yang menenangkan hati sampai ke tempat tujuan. Dan kini, sampailah aku di sebuah rumah berlantai dua dengan tulisan "Ada Kosan untuk Mahasiswa".

"Cari Kosan?"

Aku terkejut saat seseorang bertanya padaku. "Ah, saya cari pak Hasan," ucapku gugup.

"Ini bener kosan punya pak Acan, kok. Tapi bapaknya lagi di rumah, mau di anter?"

Aku terdiam sejenak, gak mengerti harus tetap diam di sini atau ikut ajakan mas-mas di hadapanku ini.

"Ya ampun, gue gak gigit kok. Gue Zein, ngekos di lantai satu," ucap pria tinggi di hadapanku.

"Ah.. Saya minta nomor pak Hasan saja mas," pintaku gak enak hati.

Akhirnya dia membiarkanku sendiri setelah menelepon pak Hasan langsung dihadapanku. Aku dipersilahkannya duduk di ruang tengah bawah sambil menunggu kedatangan pak Hasan yang kata mas Zein akan segera datang.

Seperti kata mas Zein, datanglah seorang bapak-bapak paruh baya menghampiriku. Gak lupa memperkenalkan diri, dan menjelaskan hubungannya dengan ibu. Ternyata pak Hasan merupakan teman sekolah ibu semasa di Jakarta, salah satu hal yang gak kuketahui kalau ibu ternyata pernah tinggal lama di sini.

Pak Hasan menjelaskan lagi di mana kamarku, apa-apa saja aturan yang berlaku serta gak lupa untuk menghubunginya jika membutuhkan sesuatu. Pak Hasan lantas meninggalkanku setelah urusannya denganku selesai, meninggalkan aku dengan mas Zein yang masih melipat tangan di sudut ruangan.

"Tuh kan gue gak gigit."

"Maaf ya mas, saya udah gak sopan," ucapku lagi gak enak hati.

"Ya gapapa, kuliah di mana?" tanya mas Zein lagi.

"Gajayana."

"Oh, rata-rata anak sini juga di sana. Jurusan apa?"

"Saya ke kamar dulu ya mas," pamitku. Badanku sudah sangat lelah, aku juga belum meletakkan koperku. Beberapa hari lagi beberapa paketku juga akan datang, begitu pun juga perut yang masih kosong belum terisi membuatku ingin segera lepas dari mas Zein.

"Ah, iya sorry. Kalau ada apa-apa ketuk aja, kamar gue di deket tangga."

Aku mengangguk, gak lupa berterimasih atas pertolongan dia hari ini. Segera aku masuk ke kamar yang ditunjukkan pak Hasan tadi, memutar kunci yang telah diberikan dan mulai membuka pintu kamar yang akan kutempati selama di Jakarta.

Kamar ini benar-benar terlihat kosong, di dalam kamar hanya ada satu kasur lantai kecil, dan satu lemari pakaian. Gak jauh dari lemari ada meja yang bisa kugunakan untuk belajar. Aku masuk untuk melihat lebih dekat semua bagian kamar, syukurlah aku menemukan kamar mandi di bagian dalam kamar sehingga gak harus bergantian mengantri seperti yang kulakukan saat di Panti dulu.

Setelah bersih-bersih sedikit lalu mandi, aku lekas menuruni tangga menuju keluar membeli makanan untuk mengganjal sampai waktu makan siang. Gak lupa membeli beberapa mie instan yang kujadikan persediaan saat aku malas keluar untuk membeli makanan, dan langsung kembali begitu usai.

"Tipe anak kos banget ya, belinya mie," ucap mas Zein tengah memanaskan motornya dengan pakaian cukup rapi.

"Buat stock, mas."

"Di atas juga ada dapur, sebelahan sama tempat jemur pakaian."

"Makasih mas infonya."

Gak ada jawaban lagi dari mas Zein selain suara motornya yang makin lama gak terdengar. Aku langsung menuju dapur mengambil alat makan dan kembali masuk ke dalam kamar. Beruntung aku masih menemukan pedagang bubur ayam yang mangkal gak jauh dari tempat tinggalku. Aku lekas memakannya dan bersandar pada kasur kecil demi melepas sedikit rasa penat.

Sampai akhirnya aku gak tersadar dan terus terlelap melepas semua rasa lelah yang mendera.

Another Daddy Long Legs - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang