Aku mengenali tempat ini, sebuah gedung yang pertama kali menghantarku langsung pada mas Bian. Suasana apartemen ini gak berubah, masih berantakan banyak sisa makanan dan botol minuman keras tersebar di seluruh lantai ruangan. Mas Bian terus berjalan acuh menuju sebuah ruangan yang belum sempat aku masuki saat terakhir ke sini.
Aku menemukan banyak barang yang kukenali, surat-surat yang kukirimkan untuk om Bagas tersebar di lantai begitu juga barang-barang yang kukirimkan padanya. Teronggok gak berdaya di sudut ruangan terbalut debu tanda gak pernah tersentuh. Banyak rasa kecewa yang hinggap dalam hatiku, memikirkan semua perasaan yang kutuangkan dalam setiap tulisan dan barang-barang itu. Mataku mulai memanas, gak kuasa menahan air mata terjatuh aku kembali menangisi takdirku.
Mas Bian diam gak bicara apapun, di matanya pun terpancar rasa kecewa yang besar seperti milikku. Semua kalimat yang sudah kususun hilang tanpa jejak beriringan dengan tatapan mas Bian padaku. Sesuatu yang akhirnya kupahami bahwa kami sama-sama terluka.
Mas Bian menyerahkan sebuah foto, berisikan sebuah keluarga kecil yang tengah tersenyum bahagia. Aku meneliti satu persatu wajah yang terlihat di sana, dan mulai mengenali salah satu di antaranya. Bayi perempuan itu mirip denganku, di panti aku punya foto-foto masa kecil yang biasa kulihat saat aku senggang. Aku menatap mas Bian gak percaya memohon penjelasan, dalam diam bisa kurasakan tangisan yang terlihat jelas pada bulir matanya.
"Kayaknya ini aku, mas?" tekanku lagi memohon penjelasan.
"Laki-laki itu ayah gue, kayaknya ayah gue."
Aku bisa mendengar suara mas Bian gemetar, aku sangat yakin bahwa ia menahan air matanya. Gak sepertiku yang sudah menangis kencang tanpa bisa menahannya sedikitpun.
"Semua uang dan barang-barang yang lo terima juga dari ayah gue."
Pikiranku seketika kosong, gak tahu harus mengatakan apa lagi menanggapi perkataan mas Bian.
"Gue pikir, mungkin lo anak ayah gue..." ucap mas Bian gak melanjutkan ucapannya cukup lama. "Dari wanita lain," lanjutnya lagi.
Ucapan mas Bian bagai bom yang meledakkan harapanku terhadap om Bagas. Meski aku sudah terbiasa atas ucapan orang lain yang mengatakan bahwa aku gak punya orang tua dan sebagainya tapi rasanya menghadapi kenyataan seperti itu membuatku jatuh lemas gak berdaya.
Mas Bian ikut terduduk di sisiku, lagi-lagi membisu tanpa mengucap apapun. Aku gak bisa menghibur mas Bian, karena aku pun sama hancurnya. Air mataku terus mengalir deras, menggantikan kebisuan yang sedari tadi menyeruak di antara kami.
"Terus gimana?" Mas Bian memulai pembicaraan.
"Apanya?"
"Gue gak bisa gak nurutin mau bokap, menganggap lo bagian dari keluarga yang harus gue jaga."
Aku kembali menangis, menenggelamkan kepalaku karena gak kuasa menahan air mata. "Aku minta maaf, mas." Rasa bersalah mulai bermunculan, memenuhi relung hatiku atas kejadian yang menimpa keluarga mas Bian karenaku. Seumur hidup gak pernah kubayangkan akan menjadi seorang anak yang lahir dari keluarga seperti itu. Perasaan kecewa, marah, dan sedih semua bercampur jadi satu.
"Gue mungkin gak langsung bisa menerima lo seutuhnya, tapi gue mohon untuk gak lari dari gue...." Mas Bian terdiam sebentar, "cuma lo yang gue punya sekarang."
Aku makin terdiam gak bisa mengiakan atau menolak permintaannya. Banyak hal yang masih kupikirkan sebelum menanggapi perkataan mas Bian. Apa aku benar-benar bisa hidup berdampingan dengannya? Melewati hari demi hari dengan sebuah kenyataan bahwa kami adalah keluarga. Aku termenung terlalu lama sampai gak menyadari bahwa rasa kantuk mulai menyerang. Napas yang tersendat karena terlalu banyak menangis membuatku merasa lelah dan mempercepat waktuku tertidur.
.
.
.
Sinar mentari pagi mulai mengusik tidurku, perut yang mulai merasa lapar ikut memaksaku untuk bangun. Rasa lelah yang mendera kemarin, masih saja datang tanpa berniat pergi meski sudah beristirahat cukup panjang. Aku terbangun di lantai apartemen. Ingatan tentang apa yang terjadi semalam mulai berputar bagaimana sebuah film yang memgingatkanku tentang rasa sakit kehilangan. Perasaan pedih itu datang lagi, menyapa pagi cerahku tanpa pernah berniat pergi.
Aku gak menyangka akan melihat mas Bian lagi pagi ini. Dua malam kami tidur di tempat yang sama, gak menimbulkan sama sekali perasaan gak nyaman terhadapnya. Entah sejak kapan aku mulai terbiasa atas kehadirannya di sekitarku. Mas Bian masih tertidur gak jauh dari posisiku saat ini. Bisa kulihat garis-garis halus di kelopak mata tanda kelelahan, wajahnya yang pucat yang masih terpatri jelas di wajahnya memaksaku untuk mendekat dan melihatnya apa ia benar-benar baik-baik saja. Tubuhnya gak mengalami demam, tapi sejak tadi ia terus terbatuk dalam tidurnya.
Aku bangkit dari tidurku, mulai membersihkan rumah dan mencari-cari sesuatu untuk di makan. Meski yang kutemukan hanya beberapa bungkus mie instan itu lebih baik daripada gak ada apapun sama sekali. Aku gak berniat datang ke kampus hari ini, tubuhku lelah begitu juga dengan kepalaku. Masih banyak yang harus kami bicarakan selagi semuanya sudah terlanjur terjadi dan berniat untuk gak menunda apapun.
Aku membangunkan mas Bian untuk sarapan, jika dilihat lagi kami berdua punya kemiripan yang cukup khas di wajah maupun kebiasaan kami. Membuatku semakin sulit untuk membantah semua pernyataan mas Bian semalam. Karena pada akhirnya kami benar-benar terlihat sebagai seorang saudara.
"Makan dulu," tawarku.
Aku mulai tertawa geli karena entah kenapa keseharianku sekarang selalu dimulai dengan membangunkan seseorang. Hal yang sama kulakukan saat berada di panti dulu. Ada seseorang yang hidupnya harus kujaga, meski begitu aku gak keberatan karena semua hal yang kulakukan saat ini terasa familiar.
Kami kembali melanjutkan pembicaraan yang terhenti semalam, setelah makan mas Bian menawarkan diri untuk mencuci piringnya sedangkan aku sedang fokus menatap punggungnya dari kejauhan.
"Jadi..." Mas Bian memulai ucapannya.
"Apa?"
"Gue sih mikir buat ajak lo tinggal di sini, kalo emang lo ga suka tinggal serumah sama gue. Ya nanti gue pergi, tapi seenggaknya lo tinggal di lingkungan yang menurut gue aman."
"Emang gak masalah kalo saya tinggal di sini?"
Mas Bian berhenti sebentar, berbalik melihatku lamat-lamat sebelum melanjutkan pembicaraan. "Gue-lo aja, gue gak masalah. Lebih gampang juga gue mantaunya," jelasnya lagi.
"Gue gak pa-pa kok tinggal di kosan sekarang."
"Gue yang pusing tapinya, kalo emang lo gak nyaman ya gue bisa pindah."
Mas Bian menyelesaikan tugasnya dan mulai mendekatiku. Duduk di hadapanku dan kembali menatapku lamat-lamat. "Ya?" mohonnya lagi.
Aku akhirnya mengiakan, mencoba untuk memulai sesuatu yang baru dalam hidupku. Satu permohonanku Tuhan kabulkan, Ia memberikanku sebuah keluarga baru meski melalui cara yang gak aku inginkan. Mataku menatap mata mas Bian, melihat ke dalam sorot mata itu apakah aku bisa mempercayainya seperti aku mempercayai om Bagas dulu.
Entah apa yang terjadi di masa depan, namun satu hal yang ingin kupinta dari Tuhan. Untuk tidak lagi menghancurkan keyakinanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Daddy Long Legs - END
FanfictionKeisha Adisty, tak pernah menyangka bahwa akan diberikan hadiah terbaik dari Tuhan melalui malaikat bernama Bagaskara. Di lain hal, kehidupan keluarga Bian mendadak tak terkendali akibat kematian ayahnya yang tiba-tiba, menyisakan banyak kesalahpaha...