13.2 Salvage

209 39 2
                                    

Suara jarum jam berdentum keras mengisi keheningan di ruangan yang kami tempati. Kini gak hanya ada aku, dan mas Bian. Tapi, juga ada mama mas Bian dan seorang pria yang dikenalkan padaku sebagai teman papanya mas Bian. Om Reno namanya, seorang teman sekaligus partner usaha yang telah bersama om Bastian sejak mereka kecil.

Suara hening yang masih mengelilingi suasana yang terasa canggung karena alasan di mana kami dikumpulkan saat ini atas permintaan om Reno. Sebuah kunci yang diperlihatkan om Reno juga menjadi salah satu alasan kami membisu, sebuah kunci yang mungkin akan menjadi jawaban atas kehadiranku di sini. Sebuah kenyataan yang akan membasuh kabut bias yang terus menghalau hubunganku dengan mas Bian.

Karena sampai saat ini nyatanya aku masih belum menemukan jawabannya.

"Ini kunci apa?" tanya mama mas Bian masih gak percaya dengan apa yang dikatakan om Reno tadi.

"Lemari di apartemen yang ditinggali Bian dan Keisha."

Aku dan mas Bian membisu, saling menerka lemari apa yang dimaksud om Reno sejak tadi.

"Pernah lihat?" Lirikan mas Bian membuatku terkejut, lantas aku menggeleng atas pertanyaannya.

"Om yakin? Rasanya kami gak pernah lihat lemari yang terkunci di sana."

Sanggahan mas Bian hanya dibalas dengan sebuah senyuman oleh om Reno. Meski apa yang terjadi saat ini gak seperti yang aku bayangkan, namun perasaan gelisah masih saja menghampiri. Tatapan mamanya mas Bian masih membuatku gak nyaman, ia hanya terus menatapku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hingga kini percakapan mas Bian serta om Reno yang kembali mendominasi ruangan.

"Kalian akan dapat jawabannya di sana, dan kita perlu bicara Karin." Tatapan mata om Reno mulai teralih menatap sendu mama mas Bian. "Saya punya semua jawaban yang kamu butuhkan, maaf karena kita baru bisa ketemu hari ini." Om Reno melanjutkan ucapannya.

Aku dan mas Bian sadar dan meninggalkan mereka melanjutkan pembicaraan. Bergegas kembali menuju apartemen untuk melihat apa yang om Bastian siapkan untukku. Sebuah jawaban yang sudah kami inginkan sejak beberapa bulan terakhir.

Mas Rega menawarkan untuk mengantar kami, aku maupun mas Bian gak menolak. Kami sama-sama gak berpikiran jernih saat ini, hingga mas Rega gak membiarkan mas Bian untuk mengambil alih kemudi. Aku menatap mas Bian yang sibuk melihat jalanan sembari meminta mengarahkan jalan untuk mas Rega.

Wajahnya sarat kegelisahan, matanya terus bergerak tanda gak tenang. Aku berusaha mengenggam tangannya menyalurkan kedamaian dan masih kuupayakan kehadirannya. Meski gak lama waktu yang terbuang untuk sampai di tempat tujuan namun perasaan terburu-buru terus membawa kami berlarian di koridor apartemen. Aku dan mas Bian masih berpegangan tangan menuju tempat yang dikatakan oleh om Reno, saling mengupayakan kedua kaki kami untuk tetap bertahan dan gak menghambat salah satu dari kami.

Kami memastikan kembali tempat yang dimaksud, ada secarik kecil tulisan yang tergantung melekat dengan kunci ini. Semua lemari putih kecil yang sejak awal gak kami sadari keberadaannya. Lemari yang berada di sudut dapur, terkunci sejak pertama kali kami datang ke sini. Aku pernah menanyakan kunci lemari ini pada mas Bian, namun karena keberadaannya yang gak terlihat istimewa membuat aku maupun mas Bian berhenti memedulikannya.

Dapat kulihat punggung mas Bian yang perlahan menjauh dari tempat kuberdiri. Ia lekas mendekat pada lemari putih kecil itu, sesegera mungkin memasukkan kunci pada lubang yang mulai tertutup sarang laba-laba memutarnya perlahan sampai suara tanda lemari itu sudah gak terkunci lagi bagai genderang yang membuat kami semua terdiam membeku di tempat. Sudah sedekat ini jarak aku dan kenyataan yang kuidam-idamkan. Rasa gugup masih melekat pada diriku, membuatku meremas kedua tangan yang mulai mati rasa untuk menyalurkan semuanya.

Another Daddy Long Legs - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang