Dengkuran halus terdengar beradu dengan suara penyedot debu yang kunyalakan saat ini. Bergerak mulai dari kamar menuju ruang tengah di mana suara tersebut berasal, bersamaan dengan suara dari televisi yang terus menyala sejak semalam. Entah pulang jam berapa ia semalam, tapi kuyakin saat ini dia masih terlelap dalam tidurnya.
Setelah mengembalikan penyedot debu ke tempatnya semula, aku mulai memasak untuk sarapan kami berdua. Membuat sajian sederhana untuk mengganjal perut kami, memberikan tenaga sebelum pergi kuliah nanti. Hal yang sudah berulang-ulang kulakukan saat pagi hari selama beberapa minggu ini kami tinggal bersama.
Hal yang mulai terasa familiar untukku. Mengetahui fakta bahwa kini aku gak sendirian, sudah ada seseorang yang akan menemaniku atas nama keluarga. Meski banyak hal yang belum kupahami, dengan apa yang kumiliki saat ini aku sudah bahagia.
"Baunya enak, Sha," kicau mas Bian saat terbangun setelah mencium aroma masakan dari dapur.
"Kenapa tidur di sofa?"
"Biar kebangun pas lo masak, gue ada kelas pagi."
Sudah bukan hal yang membuatku terkejut, hal yang sudah dilakukannya semenjak aku tinggal di sini. Memudahkanku untuk mengetahui jadwal mas Bian tanpa perlu diceritakannya.
"Cuci muka, mas. Udah mateng nih, Shasha tunggu di meja."
Meletakkan piring-piring berisi makanan, menatanya berdampingan dengan segelas kopi yang biasa diminum mas Bian di pagi hari. Dia sangat suka kopi, membuatnya terlalu sering mengkonsumsinya sebagai pengganti air mineral. Meski sekarang sudah berkurang karena sering kuingatkan untuk mengurangi beberapa gelas kopi dalam sehari.
"Pagi..." Suara yang kukenal perlahan mendekat, salah seorang yang menganggap rumah ini bagai miliknya sendiri di pagi hari. Datang tanpa memberi kabar, lalu masuk tanpa izin. "Masak apa?" tanyanya lagi.
"Lihat aja sendiri."
"Lo masak apa juga gue makan, Sha." Dia mulai duduk di tempat yang sudah kusediakan, bagai sebuah kebiasaan karena tahu dia pasti datang hari ini. Dia akan mengabari jika dia gak datang sehari sebelumnya. Membuat makanan yang kubuat gak akan mubadzir jika gak dimakannya.
"Udah dateng, Dit?"
"I-yaaa," jawab Dito dengan mulut penuh makanan.
"Gue rasa lo perlu kasih gue uang buat makan lo ini, tiap hari gue kayaknya liat lo sarapan di rumah gue."
"He-hehehe. Gue kan menyediakan jasa antar-jemput kuliah Shasha, bang," sahut Dito cepat, setelah menelan makanannya.
"Gue kan gak minta."
"Gak pa-pa, gue bersedia kok."
Aku gak meladeni perseteruan mereka berdua, memilih fokus dengan makananku sendiri. Menyuapnya sebelum semuanya terlalu dingin untuk disantap. Toh, ini terjadi hampir setiap hari. Bagai ritual yang harus kulewati setiap paginya.
Aku selesai lebih dahulu, meninggalkan dua pria yang masih asyik mengobrol itu melanjutkan sarapannya. Dito dengan senang hati mencuci piring yang kami gunakan, sembari menungguku bersiap untuk berangkat kuliah. Merapikan apa-apa saja yang perlu kubawa, memastikan bahwa gak ada yang tertinggal.
"Udah, Sha?" tanya Dito, lagi-lagi masuk ke kamarku tanpa izin.
"Ketuk pintu dulu, Dit. Kalau gue lagi gak pakai baju gimana?" ucapku kesal.
"Rejeki gue, Sha."
Aku segera melempar tasku ke arahnya. Mencibirnya tanpa henti meski Dito terus-menerus menertawai reaksiku.
Kami akhirnya berangkat menuju kampus, mas Bian pergi lebih dahulu menggunakan mobilnya, diikuti olehku yang duduk manis di mobil Dito. Aku pernah menolak ajakannya untuk diantar olehnya, bagaimanapun juga aku bisa saja menumpang di mobil mas Bian untuk pergi ke kampus. Karenanya Dito salah paham dan mengira bahwa aku gak ingin naik motornya lagi, sejak itu dia mulai mengendarai mobil hanya untuk membuatku mau diantar olehnya. Berikut dengan alasan bahwa dia ingin makan masakan buatanku, membuatku semakin gak bisa menolak permintaannya.
"Hari ini balik kayak biasa?"
"Iya."
"Nunggu di mana nanti?"
"Paling perpustakaan kayak biasa, kenapa Dit?"
"Tanya doang," jawabnya usil sembari menyentuh hidungku ringan. Hal-hal yang terkadang membuat jantungku berdegub lebih cepat dari biasanya. Meski sudah sering dilakukannya, tetap saja gak membuatku terbiasa dengan semua prilaku spontannya.
Setelah mengantarku sampai ke gedung fakultas, Dito lekas pergi menuju gedung fakultasnya sendiri. Dengan segera kulangkahkan kakiku cepat menuju ruang kelas, melintasi beberapa orang yang mulai menyapaku di koridor kampus.
"Sha, gak dapet kabar?" ucap seseorang yang kukenali seraya menahan lenganku saat aku berjalan melewatinya.
"Apa?"
"Kelasnya dibatalin, gue juga baru tahu. Hape baru gue aktifin pas sampe kampus tadi," jelasnya lagi.
Aku mendengus lemas, berbalik tanpa lupa mengucapkan terimakasih dan lanjut berjalan menuju perpustakaan. Aku harus menunggu beberapa waktu sebelum mata kuliah selanjutnya. Gak ada tempat lain yang bisa kudatangi, membuat perpustakaan lagi-lagi menjadi tempat yang bisa kutuju.
Suasana masih cukup sepi, hanya ada aku dan petugas yang menempati ruangan sebesar ini. Mulai berjalan menjelajahi satu persatu rak guna mencari buku-buku yang kuperlukan untuk melengkapi tugas-tugasku. Membuat waktuku gak terbuang percuma, sekaligus membuatku menyelesaikan tugas lebih cepat. Waktu berlalu begitu cepat, kini waktuku harus bergegas menuju kelas untuk menghadiri kelas selanjutnya.
Suasana kelas yang ramai gak menghilangkan kebosananku. Meski banyak orang di sini, gak satu pun dari mereka yang dekat denganku. Teman bicaraku hanya ada saat mengerjakan tugas kelompok selain itu aku sering menghabiskan waktu dengan mas Bian dan teman-temannya. Aku bersyukur dengan kehadiran mereka, tapi terkadang rasa sepi menyelimutiku saat mereka gak ada di sekitarku.
"Sha," panggil salah satu dari mereka. Aku hanya merespon kecil dengan mengalihkan pandanganku untuk sejenak melihat lawan bicaraku.
"Lo deket sama bang Juan, kan? Anak sasing."
Aku mengangguk, gak hanya sekali seseorang mendekatiku karena ini. Sering kali mereka bertanya tentang mas Rega, mas Bian dan bang Juan padaku, terkecuali bang Zul yang sudah punya pacar dan Dito yang selalu menempel padaku hingga sering dianggap pacarku itu. Aku gak keberatan, tapi terkadang aku juga gak suka dijadikan pengantar pesan terus-menerus. Berusaha menolak semua permintaan orang-orang yang semakin membuatku gak punya teman.
Aku masih menatap lawan bicaraku, menunggunya menyampaikan apa yang diinginkannya dariku.
"Boleh minta nomornya?" tanyanya lagi.
"Gak, bang Juan udah bilang untuk gak sebar nomornya," ucapku membuat alasan.
"Ayolah.. Masa gak bisa, sih? Kan gue temen lo."
Aku sedikit menertawakan ucapannya, meski aku baru beberapa bulan di sini. Berteman dengan pria-pria itu mengajarkanku banyak hal. Salah satunya seperti menertawakan kalimat omong kosong yang tengah kudengar saat ini, meski masih saja terselip rasa gak enak hati.
"Minta aja langsung, aku gak bisa kasih, sorry."
Dapat kudengar cibirannya meski pelan, kalimat gak suka atas penolakan yang kubuat bukanlah hal yang aneh kini untukku. Hanya berusaha gak mengindahkannya dan kembaki fokus dengan apa yang sedang kulakukan saat ini.
Profesor kali ini datang tepat waktu, menjelaskan materi sedemikian rupa sampai waktu berjalan sangat cepat. Hari ini aku hanya punya dua jadwal, setelah makan siang yang kulakukan hanya menunggu Dito selesai kuliah agar bisa pulang bersamanya.
"Shasha..." sapa Dito lembut menungguku tepat di luar kelas. Setelah melihat sudah gak ada dosen di kelas, Dito lantas masuk begitu saja menghampiriku, "Makan di luar yuk? Kelas gue batal jadi hari ini bisa balik cepat," jelasnya lagi.
Aku mengangguk, mengiakan ajakannya. Dito kembali menjelaskan apa yang terjadi hari ini. Semua hal yang terjadi padanya tanpa terkecuali, aku gak pernah bosan meski apa yang dikatakannya selalu mirip satu sama lainnya. Aku selalu menyukai raut wajah sumringah, saat ia menjelaskan segalanya memperlihatkan besarnya antusias yang dimiliki Dito. Menjelaskan apa yang ia suka dan tidak suka, apa yang membuatnya bahagia maupun yang membuatnya sedih. Dito selalu menceritakannya tanpa terlewat satu hari pun, membuatku sedikit senang karena bermanfaat untuknya meski hanya mendengarkan semua cerita-ceritanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Daddy Long Legs - END
FanficKeisha Adisty, tak pernah menyangka bahwa akan diberikan hadiah terbaik dari Tuhan melalui malaikat bernama Bagaskara. Di lain hal, kehidupan keluarga Bian mendadak tak terkendali akibat kematian ayahnya yang tiba-tiba, menyisakan banyak kesalahpaha...