13.1 Salvage

187 40 0
                                    

Entah kapan terakhir kali seseorang menggenggam tanganku seerat ini. Menyematkan ruas-ruas jarinya padaku, untuk memastikan bahwa tangan kami terkunci satu sama lain. Membuatku kehilangan peluang untuk pergi meninggalkannya seperti yang kurencanakan kemarin. Meski pada dasarnya, saat kedua bola mata kami bertemu semua yang kupikirkan semalaman lenyap begitu saja tergantikan rasa ingin memeluknya erat dan ingin memintanya untuk terus menahanku agar tetap berada dalam jangkauannya.

Pria yang tengah menyetir dalam diam di sampingku terkesan enggan menyuarakan isi kepalanya. Terlihat dari matanya yang menatap hampa jalan raya, membuat kami beberapa kali harus terkejut karena injakan rem yang mendadak. Meski pada akhirnya, kami kembali ke tempat yang kutinggalkan kemarin.

Tautan tangan kami mengarahkanku masuk ke dalam rumah. Bayangan tentang apa yang akan terjadi hari ini benar-benar membuatku gelisah. Entah karena menyadarinya atau kami sama-sama saling butuh kekuatan, mas Bian semakin mempererat genggamannya.

"Sha, lo dan Mama adalah kekuatan gue." Mas Bian kembali terdiam, bulir air mata yang kukira sudah kering akibat menangis semalaman kembali menggenang.

"Kalo lo udah gak nyaman di sini, tolong bilang sama gue. Kasih gue waktu buat bersiap untuk benar-benar bisa merelakan orang lain lagi."

Setelah selesai mengatakan apa yang ada dipikirannya, mas Bian pergi ke kamar untuk mandi seraya mengarahkanku ke arah taman belakang. Memintaku untuk benar-benar menunggu gak lagi pergi seperti kemarin, aku menurut. Sudah gak ada lagi keinginanku untuk beranjak, aku gak ingin membuat mas Bian lelah mencariku ke sana kemari atau aku gak ingin mendapati kenyataan mungkin ini adalah kala terakhir mas Bian memedulikanku.

Aku terduduk memandangi langit siang yang terik membuatku gak kuasa untuk terus menatapnya. Gak terlihat satu pun awan yang membantu menghalau sinar kuat sang mentari yang tetap teguh berada di tempatnya. Mengabaikan teriknya pancaran sinar matahari, kini aku teralihkan oleh sepasang bola mata yang menatapku lekat.

Berjalan mendekatiku intens membuatku tergugup di tempatku kini.

"Wah, cuma karena anak kecil kayak kamu, saya dan yang lain harus begadang semalaman," eluhnya setelah terduduk di sampingku.

Aku menunduk gak enak hati, karena lagi-lagi membuat mas Rega dan yang lain kesulitan. Kata maaf hampir terucap sebelum mas Rega kembali melanjutkan ucapannya. "Kabarin Dito, gih. Dia bener-bener kebingungan pas cari kamu semalam."

Merogoh saku tas yang sedari tadi masih melekat di pundakku. Mencari dari sekian banyak kontak yang kusimpan, hingga menemukan nama Dito di sana. Belum juga kutekan simbol untuk menelpon, sebuah panggilan masuk mengubah layar tampilan ponselku.

Ada sebuah nama di sana, nama yang sedari tadi kucari dan ingin kuhubungi. Aku menerima panggilannya tanpa ragu, seperti suara seseorang di seberang sana yang juga gak ragu menanyai kabar serta keberadaanku.

"Pelan, Dit," ucapku akhirnya.

"Lo di mana, Sha?"

Entah kenapa aku bahagia mendengar nada putus asa darinya. Aku kembali merasa seperti orang yang berharga untuk seseorang. Menjadi orang yang diinginkan, dan dibutuhkan. Aku masih hanyut dalam lamunan sampai Dito kembali menanyai hal yang sama berulang kali.

"Gue di rumah mas Bian," jawabku akhirnya. Dari sini aku bisa mendengar dengusan tanda lega milik Dito. Dia gak bicara apa-apa lagi, dan hanya terdengar suara riuh jalan raya sebagai gantinya.

Aku terus memanggil nama Dito berulang kali, mencari keberadaannya di seberang sana seraya menunggu jawaban darinya.

"Tunggu gue di sana."

Sebuah perasaan menyenangkan kembali merasukiku. Satu kalimat yang terucap dari Dito kembali memberikanku kekuatan.

"Kamu itu adiknya Bian, Bian itu saudara kami. Kamu berhutang kata maaf sama Juan, dia yang merasa paling bersalah karena gak menjaga kamu dengan baik kemarin."

Ucapan mas Rega semakin menguatkanku sekaligus membuatku merasa bersalah. Sedikit banyak membuatku tersadar bahwa yang kulakukan kemarin benar-benar kekanakkan, gak memikirkan apa-apa hanya selain egoku sendiri. Meski gak banyak waktu yang kami lalui bersama, tapi apa yang diberikan mas Bian dan teman-temannya sudah cukup banyak untukku. Karena rasa takut ditinggalkan lagi membuatku memilih untuk lebih dulu meninggalkan mereka. Kini aku sadar, bahwa semua hanya ketakutanku saja.

Mungkin kemarin adalah keputusan terbodoh yang kubuat, tapi karenanya aku benar-benar sadar bahwa aku gak akan pernah sendirian lagi.

"Terus, mas?" tanyaku setelah kembali tersadar.

"Apa?" Mas Rega tetap di kursinya, bersandar tanpa mengacuhkanku.

"Bang Juan di mana?"

"Tidur, setelah tahu keberadaan kamu dia pamit untuk istirahat."

Aku memilih menatap ke arah langit seraya menunggu mas Bian. Mataku sibuk mengamati iringan awan besar yang perlahan pergi dari pandanganku. Seakan mereka pun tahu, bahwa aku sudah gak sedih lagi dan ingin bersemangat bersamaku.

Mas Bian telah kembali, sepertinya dia hanya mengganti baju setelah membersihkan diri meski masih dapat kulihat bakal-bakal janggut yang mencuat dari wajahnya tanda ia gak bercukur hari ini.

"Kita mau ke mana, mas?" tanyaku penasaran.

"Gak kemana-mana, di sini aja. Nunggu nyokab yang baru bisa ke sini sore nanti."

Aku hanya terdiam, gugup serta rasa khawatir nyatanya masih ada meski sebisa mungkin kututupi. Aku gak ingin lagi menyusahkan mas Bian yang kini tengah beristirahat selagi mengobrol dengan mas Rega. Membahas tentang perkuliahan mereka yang nyatanya sebentar lagi akan selesai meski mereka gak berada dalam satu fakultas yang sama.

Aku kembali mengamati langit, banyak awan kecil kini perlahan ikut pergi seperti awan besar tadi. Angin sepertinya tahu apa yang kurasakan, ia memperlihatkan jelas sebuah fenomena bahwa kesulitan sebesar apapun yang kulewati akan terhembus pergi oleh waktu dan tergantikan oleh kebahagiaan yang kudambakan. Harapanku kembali membesar, sebagai sebuah balon yang siap menerbangkanku ke angkasa. Membawaku terbang kemana pun yang aku inginkan.

Hanya saja suara gemuruh kedatangan Dito memecahkan lamunanku. Suaranya mulai terdengar gemanya dengan terus meneriakkan namaku. Aku hanya menantinya tanpa berniat beranjak dari kursi, hanya suara mas Bian yang terdengar menjawab gema yang dibuat Dito.

Langkah kaki terdengar semakin dekat, bisa kulihat kakinya yang bergegas menuju arah suara mas Bian tadi. Setelah melihatku, Dito terdiam dan mulai melangkah pelan menujuku. Bulir keringat terlihat di pelipis wajahnya, deru napasnya terlihat berat bagai menjelaskan padaku sekuat apa dia berlari menuju ke sini.

Dito pun juga punya mata hitam besar seperti mas Bian, membuatku berpikir bahwa ia pun juga sudah mencariku kesana kemari semalaman. Meski sudah semakin dekat, Dito gak bicara apa-apa. Dia hanya mencari kursi lalu meletakkannya dekat denganku, duduk di sana dan hanya menatapku terus-menerus.

Another Daddy Long Legs - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang