Hari-hari berlalu, aku pun mulai terbiasa dengan jalanan yang ada di sekitar tempat kos. Aku sudah hapal jalan dari sini menuju Pasar tradisional terdekat, sudah belajar cara tercepat menuju kampus begitu pula dengan tempat-tempat yang akan kubutuhkan untuk memenuhi kebutuhan kuliah nanti.
Aku juga sudah berkenalan dengan tetangga kamarku, begitu juga beberapa penghuni kamar lantai bawah. Di tempat kos ini hanya menyediakan 5 kamar untuk mahasiswi dan 5 kamar untuk mahasiswa. Bukan sebuah tempat besar kalau menurut mas Zein, apalagi masih ada kamar kosong di lantai atas maupun bawah mengingat jarak dari sini menuju kampus memang tidak terlalu dekat menurut yang lain. Untukku yang terbiasa berjalan jauh, jarak yang harus kutempuh cukup dekat dibanding dengan jarak yang harus kutempuh saat ingin pergi ke Pasar dari Panti.
Mas Zein : Dek, masak gak?
Sebuah pesan masuk dari mas Zein yang mulai terbiasa kudapati dua pekan yang lalu. Sebuah kesepakatan yang kami lakukan demi kelangsungan hidup kami masing-masing. Mas Zein memberiku banyak arahan termasuk menjelaskan bagaimana kehidupan perkuliahan dan aku hanya perlu memasak untuknya. Aku pun gak keberatan, karena memang sudah terbiasa memasak di Panti. Hal ini juga cukup menghemat uang makan, mengingat mas Zein juga membantu membeli beberapa bahan makanan.
Aku : masak, nanti shasha turun mas.
Aku turun membawa beberapa lauk untuk mas Zein, memberikannya beberapa bagian yang bisa ia makan seharian. Mengetuk pintu kamar sambil menunggu dengan sabar sang pemilik kamar membukakannya. Aku terkadang memintanya mengambil langsung ke lantai atas, tapi ditolaknya mentah-mentah karena di lantai atas hanya ada anak perempuan tanpa tahu kenapa alasan jelasnya.
"Dedek..." sapa mas Zein ramah.
"Shasha cuma masak ayam semur pedas manis, kalau kurang pedas ya Shasha bisa bikin sambel dulu."
"Gak usah Sha, gue tadi beli rujak. Masih ada sambelnya."
"Loh, emang enak?"
"Aman, Sha. Semua enak kalo ketemu nasi tuh."
Aku mengendikkan bahu tanda gak peduli, ini bukan pertama kalinya aku melihat selera makan mas Zein yang aneh. Sebelumnya aku menemukan mas Zein makan nasi dengan pisang goreng yang rasanya sangat manis karena terlalu matang. Aku gak mencobanya saat mas Zein bilang enak, gak percaya pada selera makannya yang luar biasa itu.
Setelah memberikan lauk, aku kembali ke kamar untuk bersiap pergi ke alamat semua surat-surat itu berasal. Aku sudah menundanya terlalu lama karena aku masih belum terbiasa di sini. Namun sekarang, aku sudah cukup terbiasa dan mas Zein juga sudah menunjukkan cara menuju ke sana. Aku hanya perlu mengikuti semua arahannya dan aku gak akan tersesat.
"Sha, yakin gak mau di anter?" tanya mas Zein saat aku berpamitan padanya. Ia sudah bertanya hal itu beribu-ribu kali, kami sudah saling bercerita tentang satu sama lain, jadi mas Zein pun mengetahui alasanku pergi ke alamat itu.
"Gak usah, mas. Nanti Shasha kabarin kalau ada apa-apa."
"Oke, kalo mau dijemput bilang aja."
"Iya," ucapku seraya meninggalkan kosan.
Semalaman aku sudah mencari mode transportasi yang memudahkanku untuk sampai ke sana. Perasaan gak sabar bertemu om Bagas pun juga cukup mengganggu tidurku semalam meski akhirnya aku kembali mengandalkan ojek dalam jaringan untuk sampai ke tempat yang kutuju. Karena menurutku, lebih cepat sampai lebih baik. Ini akhir pekan, om Bagas pasti di rumah membuatku semakin bersemangat untuk lekas bertemu dengannya.
Cuaca yang tidak terlalu terik, memberikan angin kesegaran saat motor matic mas ojol melaju cepat melintasi aspal-aspal panas Jakarta. Gak butuh waktu lama untuk aku sampai ke tempat tujuan, hanya perlu berjalan sedikit lagi untukku sampai ke sebuah gedung yang kuyakini adalah tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Daddy Long Legs - END
FanficKeisha Adisty, tak pernah menyangka bahwa akan diberikan hadiah terbaik dari Tuhan melalui malaikat bernama Bagaskara. Di lain hal, kehidupan keluarga Bian mendadak tak terkendali akibat kematian ayahnya yang tiba-tiba, menyisakan banyak kesalahpaha...