Aku masih sibuk mengemas isi tas dengan Dito yang terus merengek di sisiku. Memintaku untuk tetap berada di sini, tetap tinggal di sisinya seperti hari-hari yang telah ia lewati beberapa bulan terakhir.
"Gue janji gak minta dimasakkin tiap hari, janji bakal bantu beresin apartemen, please Sha di sini aja."
Aku tersenyum, menepuk kepala Dito pelan. Sudah beberapa hari setelah mendengar rencanaku untuk cuti kuliah dan kembali ke panti untuk sementara membuatnya terkejut dan bertindak kekanakkan. Setelah mengutarakan pendapatku mas Bian gak melarangku pergi, ia hanya memintaku untuk terus mengabarinya tentang apapun selama aku tinggal jauh darinya. Mas Bian gak bisa meninggalkan studinya yang sebentar lagi akan selesai, ia harus lekas menyiapkan diri untuk mengurus pekerjaan om Bastian yang kini masih diambil alih oleh tante Karin.
"Yaudah, gue ikut cuti aja." Dito memberengut kesal.
"Jangan ngelantur." Ucapan mas Rega semakin membuat Dito kesal.
Memang gak hanya ada Dito dan mas Bian di sini, bang Juan serta bang Zul ikut serta menyiapkan beberapa barang yang akan kubawa. Mereka dengan senang hati membantuku dan menawarkan diri untuk mengantarku sampai bandara nanti.
"Serius bang, penerbangan lo jam berapa sih, Sha? Gue mau cari tiket pesawat."
Menghentikan sejenak kegiatan yang sedang kulakukan demi bisa menggenggam erat tangan Dito yang sudah sibuk mencari tiket melalui ponsel pintarnya. Menatap matanya yang terlihat gelisah sejak tadi tetap meninggalkan kesan lucu, membuatku sedikit merasa bersalah padanya. Ia adalah teman pertamaku di sini, orang pertama yang memperlakukan layaknya seseorang yang berharga lebih dari keluarganya. Aku memeluknya sebentar, memeluk erat sahabatku yang masih memintaku untuk membiarkannya untuk ikut bersamaku.
"Dito di sini aja, ya. Jagain mas Bian buat gue, gue cuma sebentar kok di sana dan gue pasti balik ke sini. Keluarga gue ada di sini, jadi gue pasti akan kembali."
"Lagipula lo bisa main sesekali ke sana, Dit. Shasha gak pergi ke ujung dunia, kalaupun iya lo masih bisa ke sana, kemana pun itu." Ucapan mas Bian membuat Dito melepaskan pelukannya padaku. Meski kepalanya terus tertunduk lesu, Dito akhirnya membiarkanku pergi sendiri. Membantu membawa koper dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil mas Bian.
Perjalanan menuju bandara hanya riuh diisi suara bang Juan yang masih asyik menjelaskan kegiatan di kampusnya akhir-akhir ini. Masa ujian telah berakhir, jadi saat ini adalah masa yang harus dilalui dengan suka cita begitu katanya. Perpisahan hari ini bukanlah akhir, tapi perpisahan yang akan membuka pertemuan selanjutnya dikemudian hari. Meski jarak yang terbentang di antara kami memisahkan raga tapi waktu yang telah kami lalui bersama membuat hal itu terhapus bagai kabut pagi yang hilang tersapu teriknya sinar mentari.
Menikmati detik-detik terakhir sebelum perpisahan terjadi, rasa ingin tinggal mulai menggelitik egoku. Merongrong untuk membatalkan semua yang sudah kurencanakan selama tinggal di sana. Sesuatu yang sudah gak mungkin aku lakukan, kini para pramugari telah meminta kami untuk menyematkan sabuk penyelamatan pada tubuh kami. Getaran yang terasa dari dalam kabin pesawat penandakan perpisahan yang akhirnya terjadi. Aku terus merapalkan alasan yang membuatku memilih untuk pergi, bertahan dengan menyakininya bahwa ini hanya untuk sementara dan aku akan segera lekas kembali.
Terimakasih untuk kalian yang sudah sabar menunggu akhir dari cerita ini. Inilah akhir dari cerita pendek yang berjudul ANOTHER DADDY LONG LEGS. Dan yang masih penasaran dengan kelanjutan kisah Rega, Bian, Zul, Juan, dan Dito bisa lanjut menuju judul lainnya yaitu FLIMSY
Enjoy - Chi
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Daddy Long Legs - END
FanfictionKeisha Adisty, tak pernah menyangka bahwa akan diberikan hadiah terbaik dari Tuhan melalui malaikat bernama Bagaskara. Di lain hal, kehidupan keluarga Bian mendadak tak terkendali akibat kematian ayahnya yang tiba-tiba, menyisakan banyak kesalahpaha...