11.2 Pemberian Tuhan

194 45 4
                                    

Kulihat lagi binar-binar cerah di wajahnya. Mulutnya yang penuh dengan makanan, gak lantas membuatnya terhalang untuk menceritakan hal-hal lucu untuk menemani makan siang kami. Aku hanya diam menatapnya sesekali sembari menyuap makanan ke dalam mulut, menikmati setiap waktu yang kami habiskan bersama.

"Ah.. Kenyang."

"Gak mungkin lo gak kenyang, makan lo banyak kan," ucapku menertawai Dito.

"Mikir bikin gue laper, Sha. Bersyukur karena semua permen yang gue bawa tadi. Bisa dipastikan gue ketiduran kalau gak ngunyah sesuatu," jelasnya lagi.

Aku memilih gak menimpali apa-apa selain masih menertawai tingkah lucunya yang terlihat sejak tadi. Dito terus tersenyum atas apapun seperti biasa, pembicaraan ringan yang mengiringi membuat kami gak sadar selama apa waktu yang telah kami habiskan bersama. Dito benar-benar selalu bersamaku, menemani keseharianku kecuali saat kami kuliah atau saat Dito memutuskan untuk tidur di rumah.

Saat dia bosan, terkadang dia menginap di apartemen. Membawa semua peralatan gimnya beserta beberapa baju yang kini tersimpan rapi di lemari. Sebuah lemari yang mas Bian sediakan khusus untuknya agar baju mereka gak tertukar.

Dering ponsel Dito menginterupsi obrolan kami, matanya mengernyit sejenak saat melihat layar ponselnya yang masih berbunyi tanda seseorang menelpon.

"Halo?" ucap Dito akhirnya.

Aku masih mendengarkan percakapan Dito yang singkat, sampai akhirnya ponsel itu diberikan padaku. Dito memberi instruksi bahwa seseorang ingin bicara denganku, aku yang memahaminya lekas menerima panggilan tersebut.

"Halo?" ucapku setelah menyematkan ponsel Dito di telingaku.

"Hape lo kemana?"

"Mas Bian?"

"Iya, gue chat daritadi gak di bales. Telpon juga gak diangkat-angkat," gerutunya lagi.

Aku lekas mencari keberadaan ponselku, menatap pada layar putih dengan banyak notifikasi yang sebagian besar dari mas Bian. "Maaf gak dengar ada notif masuk," ucapku menyesal.

"Yaudah, gue tunggu di rumah ya?"

"Ada apa mas?"

"Pulang aja dulu, minta tolong Dito anter."

Aku termenung sebentar menatap Dito yang sudah pergi menuju kasir untuk mempersingkat waktu sebisa mungkin. "Ayo!" ajaknya seraya membawaku berjalan cepat di sisinya. Aku gak menolak dan berusaha mengimbangi langkahnya, gak bertanya apa-apa meski banyak yang telah terpikirkan di kepalaku. Membuatku larut dalam diam dengan penuh rasa gelisah.

Dito membawaku cukup cepat, membawaku lekas pulang dan segera bertemu dengan mas Bian. Aku gak berani menatap matanya saat ini, meski dia terus menenangkanku berkata semuanya baik-baik saja namun sekelebat aku melihat matanya. Matanya kini gak seteduh tadi, mulutnya bergerak menenangkanku namun pancaran rasa khawatir dan gelisah nampak jelas di sana.

Aku memegang erat tangan Dito, memberinya kekuatan sekaligus menguatkanku.

"Gue kayaknya gak bisa nemenin sampe dalem Sha. It's ok, di dalam ada bang Bian. Lo pasti baik-baik aja."

Aku hanya mengangguk pelan menikmati usapan lembut Dito di kepalaku. Sedikit banyak memberiku kekuatan untuk menghadapi apapun yang ada terjadi nanti. Meski gak banyak yang kuketahui, sikap Dito serta suara gelisah mas Bian tadi cukup membuatku merasa harus bersiap diri.

Dito masih berdiri menungguku masuk ke dalam apartemen. Terus tersenyum seraya berbisik bahwa semua akan baik-baik saja bagai mantra sihir di mulutnya. Aku masih menatapnya, mensyukuri kehadirannya yang terus memberiku perlindungan, sesuatu yang gak kupunya dulu. Salah satu hal yang kuanggap sebagai hadiah dari Tuhan setelah semua yang kuhadapi kemarin.

Aku menarik napas panjang sebelum memberanikan diri untuk masuk ke apartemen. Dering-dering ponsel mulai bertautan karena mas Bian yang terus menerus menanyakan posisiku sejak tadi.

1

2

3

Kini, aku siap dengan apapun yang terjadi nanti.

Hal yang pertama yang kulihat adalah pancaran gelisah dari wajah mas Bian. Dia lekas berdiri dan menghampiriku, mengusap-usap bahuku pelan seraya tersenyum tanpa mengatakan sepatah kata apapun.

Tangannya yang mulai bergerak berpindah kini menggenggam tanganku mulai menarikku ke arah ruang tengah. Di mana aku melihat sesosok wanita tengah duduk diam menatap jauh ke luar jendela.

"Mam," panggil mas Bian pada wanita itu, membuatku terkesiap dan lekas mengalihkan pandangan menuju mas Bian penuh pertanyaan.

Wanita yang dipanggil mas Bian tadi lekas membalikkan tubuhnya, memandang lurus tepat ke arahku. Aku merasa gak nyaman, matanya masih terus bergerak dari atas ke bawah. Dia masih terdiam, gak bicara apapun selain melangkahkan kakinya ke arah kami.

Wajahnya yang cantik sarat keanggunan tetap memancarkan aura gak suka saat melihatku. Terutama saat ini, saat matanya menatap lurus pada genggaman tangan mas Bian yang memegang erat tanganku.

"Mam, ini Keisha," ucap mas Bian mengenalkanku.

Merasa harus bertindak sopan aku berinisiatif mengenalkan diriku, "Keisha, tante," ucapku seraya mengulurkan tangan.

Aura dingin dari pendingin udara terasa lebih dingin dari biasanya. Perasaan gugup serta gelisah yang bercampur rasa kecewa karena uluran tanganku gak kunjung dijabatnya menambah rasa dingin yang kini mulai terasa di hampir sekujur tubuhku.

"Bian, mama tunggu di rumah, ya."

Satu kalimat singkat sebelum akhirnya ia beranjak pergi meninggalkan rasa canggung yang terasa berat memenuhi udara di ruangan ini. Mas Bian terus memegang erat tanganku. Meski mulutnya diam tanpa berkata sepatah kata pun, sudah cukup untukku. Setelah mengetahui kebenaran tentang diriku, aku sudah mempersiapkan diri untuk semua kemungkinan. Hanya saja meski aku telah bersiap, gak memungkiri bahwa ternyata aku tetap merasa sakit atas kejadian ini.

Aku menepuk tangan mas Bian pelan, memberi isyarat bahwa aku baik-baik saja. Begitu pikirku, aku akan dan harus baik-baik saja. Gak bisa selamanya aku bergantung padanya, posisi mas Bian lebih sulit dariku. Aku harus berupaya memahaminya, memahami bahwa atas sebuah hadiah yang kuterima dari Tuhan aku harus membayarnya dengan harga yang pantas.

"Mas Bian pulang aja dulu."

"Lo jangan kemana-mana, oke? Gue balik sebentar doang."

Aku mengangguk, gak ada lagi yang bisa kulakukan selain mengiakan permintaannya. Aku gak ingin pergi meninggalkan semua yang telah kuimpikan selama aku hidup, sebuah keluarga yang akhirnya kudapatkan. Apapun yang terjadi nantinya aku harus bertahan, menganggap bahwa semua yang terjadi saat ini adalah sebuah imbalan atas apa yang akhirnya kumiliki.

Mas Bian lekas pergi setelah mendengar jawabanku. Suasana hening sepeninggalannya semakin terasa menyesakkan. Bulir-bulir air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya keluar tanpa penghalang meluapkan segala yang tertahan tadi. Beberapa ingatan tentang keadaan panti bagai menggodaku yang tamak karena meminta hal lebih meskipun aku telah bahagia di sana. Bagai sebuah penyesalan yang membuatku menyerah dan ingin kembali saja ke sana.

Another Daddy Long Legs - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang