Pernahkah kau takut, takut kehilangan seseorang. Bukan karena dia sudah cukup berarti bagimu, tapi karena karena kau tak mau dia mengalami hal yang menurutmu sangat buruk. Kau tahu itu sangat buruk, karena masa lalumu pernah menyimpan kejadian yang sama. Kuakui ini terjadi padaku sekarang.
Namjoon, dengan masa lalunya yang berat. Kutegaskan lagi, masa lalunya, dan aku mengenalnya saat dia sudah terlihat seperti manusia yang bahagia dengan senyum yang selau menempel di wajahnya. Setiap geriknya kadang membuatku was-was, aku juga tidak mengerti. Tapi itulah yang membuatku ingin berada selalu di dekatnya. Kau tidak pernah tahu kan dalam hati seseorang? Kita tidak bisa menjamin bahwa ia 100% baik-baik saja hanya dengan melihat luarnya.
"Ini, ambilah" Namjoon memberiku sebuah buku. Buku dengan gambar pangeran kecil di depannya
"Hadiah dariku, merayakan 1 bulan mengenalmu (?)" Namjoon terkekeh memberikan buku itu padaku
"Hahaha apa perlu dirayakan? Aku bahkan tak tahu kalau hari ini tepatnya. Omong-omong terimakasih. Bisa untuk bahan dongeng untuk Eiji" Aku membolak balik buku tipis bergambar itu. Penuh warna, persis buku cerita Eiji
"Jangan melihat sampulnya, anak kecil bahkan tak mengerti sama sekali bila kau ceritakan isinya" Aku menautkan alisku, bukankah ini terlalu kekanakan untuk orang dewasa
"Itu buku kesukaanku, mungkin seperti cerita dongeng pengantar tidur tapi bacalah baik-baik. Isinya menceritakan tentang problematika orang dewasa"
"Unik, aku jadi penasaran. Tapi, maaf ya aku bahkan tak membawakanmu hadiah apa-apa" aku terkekeh
"Sebenarnya aku ingin memberi saja sih. Satu bulan kita bertemu aku juga lupa tanggalnya hahaha"
"Dasar. Aku hampir terharu lho" aku terkekeh
"Tidak usah bawa hadiah. Kau berada disini saja aku sudah bersyukur" Seniman memang beda. Apapun yang ia ucapkan terdengar lebih manis .
"Jin, ini rahasia sih sebenarnya. Saat aku meminta nomor ponselmu dan aku bilang supaya aku bisa mengabarimu kalau aku akan iku perkumpulan, itu hanya alasanku agar kau mau memberi nomor ponselmu" ia tersenyum, aku sudah berfikir macam-macam. Tapi tidak, jangan percaya kata kata manis seniman sepertinya.
"Oh maaf aku ada telepon" Ponselku berbunyi, syukurlah bisa jadi bahan pengalihan sebelum obrolan itu semakin panjang.
Setelah menelepon aku kembali ke bangku panjang tadi. Namjoon memegang dompetku yang kurasa terjatuh saat aku menarik ponsel dari dalam tas ku.
"Maaf, tadi dompetmu terjatuh dan isinya tercecer" Namjoon memegang isi dompetku di tangan satunya. Terlihat fotoku, ayah, dan Jisoo di tumpukan paling atas. Foto yang kami ambil saat ulang tahun Jisoo ke 17.
"Terimakasih" aku mengambilnya dan mulai menatanya di dalam dompetku.
"Apa aku boleh bertanya?" Namjoon berkata pelan , aku menganngguk sambil tersenyum
"Saudarimu, kenapa mirip sekali dengan Diamond Kim? Ah lupakan, tidak mungkin" Ia mengipas tangan di depan wajahnya
"Sepertinya aku terlalu durhaka jika tak mengakui dia adalah adikku" mata Namjoon membulat sepertinya ia kaget dengan perkataanku
"Iya, dia adikku. Jisoo nama aslinya. Kau mengenalnya?" Namjoon mengangguk
"Aku pernah beberapa kali bertemu dengannya. Kami pernah diundang ke pesta teman kami"
" Aku tidak pernah bertemu lagi dengannya selama 3 tahun" aku tersenyum pahit. Aku rindu Jisoo, tapi mungkin dia tidak.
"Kalian bertengkar?" Tanyanya . Aku menggeleng, kuceritakan padanya bagaimana Jisoo bisa memilih jalan ini dan kami tidak berkomunikasi lagi setelah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
END Home [Namjin FF]
Fanfiction"Apa kau hidup hanya untuk menunggu kematian?" "Ya. Aku bukannya tidak bisa mati sekarang. Tapi ada sesuatu yang harus kuselesaikan dulu sebelum aku mati"