"Jin" Ken melambaikan tangannya di depan wajahku. Sial, aku melamun.
"Makan ramenmu itu hampir dingin, apa mau diganti?" Ken menawarkan untuk mengambil ramen lagi. Kami mampir ke supermarket untuk memakan ramen dan minum minuman hangat.
"Tidak usah, ini masih enak" aku memakannya, mengharagai Ken yang sudah membelikannya untukku.
"Melamun apa?" Ken bertanya pelan
"Eh?" Lagi. Konsentrasiku hilang.
"Melamun apa Jin? Ya Tuhan kau melamun lagi ternyata" Ken terkekeh
"Entah, begitu banyak di otakku"
"Apa otakmu cukup besar untuk memikirkannya sendiri Jin? Aku masih punya ruang kosong di otakku kalau kau mau berbagi" Ken terkekeh. Dia memang selalu memilih kata-kata yang sulit dimengerti. Padahal dia biaa bilang 'ceritalah' . Tapi maaf Ken, aku sendiri juga bingung sebenarnya apa yang kupikirkan.
"Kau rindu rumah?" Tanya Ken. Aku menggeleng. Apa yang bisa kurindukan dari rumahku. Bahkan rumah keluarga Lee terasa lebih seperti rumah bagiku.
"Rindu teman-teman?" Aku menggeleng. Ken, aku tidak punya teman yang bisa kurindukan di Korea.
"Lalu?" Aku menggeleng lagi
"Aku sendiri juga bingung. Jisoo? Mungkin" Ken berubah sendu, ia tahu keluargaku. Keluarga Ken tahu bagaimana cerita keluargaku . Sepintar-pintarnya Ayah menyembunyikannya, ia tak akan pernah bisa menyembunyikannya dari tuan Lee.
"Aku paham, bagaimanapun juga ia tetap adikmu. Sangat wajar kalau kau rindu padanya" Ken tersenyum
"Kalau aku bisa menariknya dari kehidupannya yang sekarang, pasti aku lakukan Ken. Banyak orang membencinya, kadang aku ingin marah ketika seseorang berkata jahat padanya. Tapi begitulah kenyataannya" Jujur aku rindu pada Jisoo, dia seperti mati. Lenyap tak berbekas, tapi dia ada. Dan aku merindukan Jisoo, bukan Diamond Kim.
"Itu jalan yang ia pilih Jin, sepertinya ia bahagia dengan caranya hidup sekarang. Kau harus bahagia juga Jin" aku mengangguk, benar kata Ken. Ini yang Jisoo mau, hidup bebas sesuai apa yang ia mau menjadi seorang yang benar benar baru tanpa bekas masa lalunya sebagai Kim Ji Soo.
"Berbagilah Jin. Terlalu berat memikul beban kehidupan ini sendiri" Ken tersenyum. Aku tidak punya beban Ken, malah mungkin aku adalah beban mereka semua.
.
.
."Aku? Apa Anda bilang? Anak bermasalah? Cih! Setidaknya aku lebih punya otak untuk tidak tinggal lebih lama di sangkar emas ini tuan!"
"Kau! Seokjin! Jangan berbangga diri karena kau selalu dipuji oleh pria ini! Kau akan hancur! Hancur Seokjin!"
Jantungku berdebar kencang karena mimpi buruk itu. Masih jam 3 dini hari rupanya. Aku turun ke dapur untuk mengambil air mineral, menjernihkan otak karena mimpi itu sangat terasa nyata. Ponselku tiba-tiba berbunyi.
Namjoon
Jin, apa kau sudah tidur?Me
Sudah, tapi terbangun. Kau belum tidur?Namjoon
Tidak bisa tidur, jadi aku ke studio untuk bekerja.
Aku merindukanmu Jin.Namjoon, bisakah kau berhenti memgatakannya? Kau bahkan kekasih adikku. Aku tak membalasnya, selalu seperti ini, aku bisa beralasan bahwa aku terlelap lagi setelah membaca pesannya.
.
.
.Hari jumat pekan pertama, pertemuan di rumah tuan Lee sudah pasti selalu diadakan. Sekedar makan malam atau bersenda gurau, rumah ini semakin hangat ketika hari itu datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
END Home [Namjin FF]
Fanfiction"Apa kau hidup hanya untuk menunggu kematian?" "Ya. Aku bukannya tidak bisa mati sekarang. Tapi ada sesuatu yang harus kuselesaikan dulu sebelum aku mati"