Jeno adalah misteri itu sendiri. Mengekangnya dalam teritori pemuda tersebut di semarak malam natal tanpa mau berbagi.
---------
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Renjun termenung dalam lipatan tangan yang ia jadikan bantalan.
Sesekali terlelap sesekali terbelalak.
Meski hati sudah berkenan, ia tetap mencoba tenang walau sentimennya tidak begitu senang.
Hangatnya peraduan yang ia rasakan tidak mampu mendistraksi sesuatu yang didambanya di luar sana. Beberapa kali self remindernya bekerja keras membangunkan sisi ego terhadap kesederhanaan yang tengah berlangsung saat ini.
Namun hanya satu bayangannya yang selalu mampir.
Gemerlap cahaya lampu natal yang menyala-nyala, membawa suasana sukacita malam penyambutan istimewa. Menggantung di setiap representasi datangnya kegembiraan bulan Desember pada sebuah pohon natal.
Ia terpejam sejenak merasakan euforia letupan tawa yang tak habis dalam kisah tahun lalu. Terbentuk dalam guratan skenario yang sudah disiapkan namun terasa natural karena semua berjalan apa adanya berdasar kehendak naluriah. Bersama-sama kala itu untuk sekadar merayakan pesta malam natal dengan sederhana yang sudah cukup baginya.
Renjun kembali membuka mata. Sedikit dorongan menyadarkannya pada realita. Ia tak begitu peduli walau terasa berdebar.
Pikirannya kembali menjelajah. Kini impuls otaknya mengirimkan fragmen perkumpulannya lebih jelas dengan teman-teman yang begitu ia sayang. Gambaran kehangatan kecil yang diciptakan itu setidaknya mampu mengalahkan rasa dinginnya musim salju dan kengerian layar kaca.
"Sangat nyaman..."
"Apa yang nyaman, sayang?"
Dengusan napas terdengar terengah-engah di daun telinganya. Ia menutup mata lagi menahan kegelian yang tiba-tiba menyerang bagian sensitif, "natal, malam natal."